Isu Palestina menjadi bahan pembicaraan utama ketika itu. Posisinya yang terus dijajah oleh Israel, membuat negara-negara yang berkumpul mendirikan sebuah organisasi yang bertujuan membantu perjuangan Paletina agar bisa menjadi negara merdeka dan berdaulat. Di luar isu Palestina, pendirian organisasi ini juga dimaksudkan untuk melindungi tempat-tempat suci umat Islam serta ikut mendukung perdamaian dan keamanan internasional. Itulah awal sejarah berdirinya Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Setelah hampir tiga setengah dasawarsa hanya berkutat pada persoalan politik, khususnya persoalan Palestina, OKI kemudian mengalami metamorfosa penting pada tahun 2005. Untuk menjawab perkembangan dan berbagai tantangan yang mengemuka di dunia global, negara-negara anggota OKI memandang perlu untuk melakukan revitalisasi guna membantu berbagai persoalan yang dihadapi negara-negara Muslim. Itu sebabnya, saat KTT Luar Biasa OKI ke-3 yang dihelat di Mekkah, Arab Saudi, Desember 2005, diundangkanlah Macca Declaration dan OIC 10-years Program of Actions.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rule Model Demokrasi
Pada awal Februari 2013 ini, OKI kembali menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Kairo, Mesir. Meski situasi keamanan di negeri Firβaun sedikit menghawatirkan akibat proses politik yang terus memanas, Presiden SBY tetap hadir. Menurut Presiden, kedatangan ini ia anggap sangat penting untuk menunjukkan dukungan Indonesia terhadap Palestina agar betul-betul menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Sebagaimana amanat amanat pembukaan UUD β45 bahwa, ββ¦penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.β
Namun di luar itu, hemat saya, kehadiran Indonesia di KTT OKI menjadi cukup relevan di tengah geliat revolusi dan reformasi di negara-negara The Arab Spring. Sebagai negara dengan penduduk mayoritas Islam, Indonesia bisa menjadi rule of model bagi negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara untuk menjalani proses transisi demokrasi dan konsolidasi politik mereka. Seperti diketahui, Indonesia memiliki pengalaman berharga dalam menjalani proses transisi demokrasi pasca lengsernya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, Mei 1998 silam, sebagaimana yang dialami oleh negara-negara Arab Spring saat ini.
Berawal dari penggulingan kekuasaan Ben Ali di Tunisia pada 2011 silam, gelombang perubahan politik di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara memang belum selesai. Tunisia, Libya, Bahrain, Suriah, Yaman, Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, Oman, Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan Sahara Barat masih kerap bergolak mencari model bagi kelanjutan sistem politik dan konsolidasi politik mereka. Bahkan di Mesir, yang menjadi tuan rumah KTT OKI sendiri, efek Arab Spring belum juga bisa dilewati dengan baik. Pasca lengsernya Presiden Husni Mubarak, konsolidasi politik di negeri piramida masih kerap bergolak yang berujung pada pertikaian.
Itu sebabnya, keberadaan Indonesia di lingkaran negara-negara OKI hendaknya bisa memberikan peran lebih. Keberhasilan dalam memadukan antara Islam, modernitas dan demokrasi, membuat Indonesia cukup layak menjadi teladan bagi negara Arab Spring. Meski masih banyak batu sandungan di sana-sini, pengalaman Indonesia dalam melampaui masa transisi demokrasi patut menjadi acuan.
Kepentingan Indonesia
Di tengah modal kuat Indonesia di lingkaran negara-negara OKI seperti tertera di atas, tentu posisi ini harus bisa dimanfaatkan dengan baik. Peran OKI yang saat ini tak hanya terfokus pada persoalan politik, bisa menjadi pintu masuk untuk terus meningkatkan kerja sama di bidang lainnya, terutama ekonomi.
Seperti diketahui, OKI merupakan organisasi terbesar kedua di dunia setelah PBB. Gabungan PDB negara-negara anggota OKI mencapai US$ 9,1 triliun. Saat ini, volume perdagangan di antara negara anggota OKI baru berkisar US$ 687 miliar, atau kurang dari 10% dari total PDB gabungan negara anggota OKI.
Di samping itu, meski secara politik negara-negara Arab Spring sedang bergolak, namun secara ekonomi, sebagian dari negara-negara ini merupakan negeri yang kaya minyak. Indonesia harus bisa mengambil keuntungan untuk dapat menadah dana investasi sovereign wealth funds mereka. Kita tahu, kekayaan minyak yang mereka punyai lambat laun akan habis. Itu sebabnya, negara-negara ini membutuhkan investasi jangka panjang untuk mengantisipasi terjaganya devisa negara ketika cadangan minyak mereka semakin menipis.
Di sisi lain, Indonesia saat ini juga sedang berupaya keras menggenjot pembangunan infrastruktur guna menunjang baiknya geliat ekonomi dalam negeri. Melalui rancangan Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI), Indonesia sedang berambisi bisa menjadi negara maju pada tahun 2025. Tentu itu bukan perkara mudah. Karena ditaksir, pembiayaan proyek-proyek dalam MP3EI diperkirakan akan memakan biaya sekitar Rp 4.000 triliun.
Apalagi, tahun ini pemerintah memproyeksi akan membutuhkan dana sekitar 545 triliun guna mendanai 146 proyek MP3EI. Biaya sebesar itu akan digunakan untuk merealisasikan 82 proyek infrastruktur sebesar Rp 143,085 triliun dan 64 proyek sektor riil sebesar Rp 402,67 triliun.
Di bawah catatan manis pembangunan ekonomi di awal dasawarsa abad ke-21 ini, hemat saya, Indonesia tak perlu risih untuk menawarkan diri sebagai negara tujuan investasi sovereign wealth funds negara-negara OKI. Ditambah dengan proyeksi positif pembangunan ekonomi Indonesia di masa depan oleh beberapa lembaga kredibel, tentu akan membuat keyakinan negara-negara OKI semakin tinggi.
Oleh karena itu, KTT OKI di Mesir ini hendaknya dijadikan momentum untuk terus menggenjot penarikan dana investasi agar cita-cita menjadi negara maju pada tahun 2025 bisa terealisasi.
*) Abdul Hakim MS adalah Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI)
(nwk/nwk)