"Saya pun juga mengalami masalah yang sama dengan Ninit. Pada tahun 2005 sudah kena biaya nikah sebesar Rp 500 ribu. Memang tidak ada bukti karena tidak ada bukti kuitansi. Masa orang mau menjalankan ibadah nikah malah dipersulit. Saya marah tapi tidak tahu saya harus mengadu pada siapa karena ujung-ujungnya juga harus bayar," tulis pembaca detikcom, Imam Supardi pada Jumat (28/12/2012).
Imam sampai hari ini mengaku masih sakit hati karena ketidaktransparanan itu. "Bagaimana dengan mereka yang tidak mampu? Melakukan kawin siri malah dipersalahkan, mau kawin resmi di KUA mahal," keluhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Oleh petugas pencatat nikah di desa saya, saya dimintai uang sebesar Rp 550 ribu. Katanya memang segitu biaya untuk mencatatkan nikah di KUA. Awalnya saya ragu, tapi karena berpikir ini untuk sekali seumur hidup akhirnya saya bayar tanpa minta transparansi dana itu mau digunakan untuk apa saja. Setelah baca detik.com baru saya tahu kalau ternyata saya adalah salah satu korban pungli di KUA," tulis Diajeng.
Khawatir dipersulit proses nikahnya karena mempertanyakan tarif pencatatan pernikahan di KUA juga dialami Sugiarto Bayuaji.
"Hal yang relatif sama saya alami di 2004 saat kami akan menikah. Namun kami berikan saja daripada kami kesulitan untuk mencatatkan diri ke KUA karena akan menikah. Rasanya senang apabila aparatur negara saat ini mulai dibenahi. Benar seperti pendapat Mbak Ninit dalam berita detik.com, seandainya saat itu kami tidak berkecukupan niat ibadah kami bisa jadi sangat sulit," tulis Sugiarto.
Kebingungan yang sama juga dialami oleh Sigit, warga Medan, Sumatera Utara. Sigit menikah di KUA di Medan pada tahun 2011 lalu.
"Pegawai KUA mengatakan kalau untuk biaya nikah saya hanya kena Rp 20.000, sementara istri saya lebih mahal karena pindah domisili sebesar Rp 100.000. Saya menanyakan kepada petugas tersebut, apakah memang ada aturannya? Petugas tersebut mengatakan memang biasanya seperti itu," jelas Sigit.
Sigit pun bingung dengan kata 'biasanya seperti itu'. Pasalnya, sebagai PNS yang mengurusi penerimaan negara, dia tahu betul alur penerimaan negara itu.
"Saya sebagai salah satu PNS di institusi pemerintah yang mengurusi penerimaan negara awalnya berpikiran kalau biaya yang diminta tersebut disetorkan ke kas negara melalui bank persepsi atau pihak lain yang ditunjuk oleh pemerintah, sama halnya seperti di instansi saya," jelas Sigit.
Namun ternyata, setelah petugas KUA tersebut selesai mengetik surat-surat kelengkapan nikah, petugas itu menyuruh Sigit meletakkan uang di atas buku tanda terima surat. "Tanpa memberikan kuitansi ataupun bukti pembayaran resmi lain. Di saat itulah saya baru merasa saya menjadi korban pungli di KUA. Karena saat itu saya diharuskan untuk segera kembali ke kantor, saya tidak mau meributkan hal tersebut," jelas dia.
Kejengkelannya bertambah karena saat menuju ke parkiran sepeda motor dia mendengar celetukan dari petugas KUA yang melayaninya itu.
"Pegawai tersebut yang mengatakan "penglaris". Hal ini mungkin karena saya datang di pagi hari ketika mereka mungkin baru saja buka kantor. Rasanya saya benar-benar tidak ikhlas atas perlakuan dan pungli yang dilakukan pegawai di KUA tersebut. Yang akan saya lakukan adalah beribadah bukan berbisnis dan itu pun harus dikenakan pungli?" gugat Sigit.
(nwk/mok)