Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai, mengatakan kondisi ini mencerminkan potensi ancaman dan serangan balik terhadap saksi dalam kasus korupsi sangat besar.
"Korupsi merupakan kategori tindak pidana terorganisir, sehingga potensi ancaman terhadap saksi dilakukan secara terorganisir karena melibatkan pihak yang berpengaruh dan posisi 'kuat'," ujar Haris dalam rilis yang diterima detikcom, Jumat (7/12/2012).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Seharusnya aparat penegak hukum lebih sensitif terhadap potensi ancaman terhadap para saksi dalam tindak pidana korupsi, yakni dengan merahasiakan identitas saksi dan proses pemeriksaan yang kondusif sehingga membuat saksi nyaman dan tidak khawatir akan keselamatan jiwanya ketika diperiksa," tuturnya.
Haris juga menilai selama ini komitmen pemerintah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dinilai masih setengah hati. Hal ini terbukti masih banyaknya upaya-upaya pelemahan sistem dalam pemberantasan korupsi.
"LPSK dilahirkan sebagai lembaga yang mendukung percepatan pemberantasan korupsi di Indonesia, seharusnya penguatan kelembagaan LPSK dalam revisi UU 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban tidak mengalami kendala seperti saat ini," imbuhnya.
Sementara itu, Juru Bicara LPSK Maharani Siti Shopia, menambahkan LPSK saat ini menangani 48 saksi tindak pidana korupsi yang masuk dalam program perlindungan LPSK.
"LPSK memberikan penanganan khusus terhadap saksi tindak pidana korupsi tersebut dengan melakukan analisis risiko secara berkala dan intensif untuk meminimalisir perubahan situasi yang dapat memperburuk kondisi saksi tersebut," ujar Rani.
Rani juga mengatakan perubahan situasi tersebut pernah terjadi dan dialami seorang saksi di Bengkulu. "Konstelasi ancaman terhadap saksi tersebut meningkat, seiring rencana bebasnya pelaku korupsi yang dilaporkannya, bentuk ancaman tersebut berupa pembakaran rumah saksi oleh orang yang tidak dikenal pada malam hari," pungkas Rani.
Dari 22 kasus saksi yang mengalami serangan balik, paling banyak terjadi di Bengkulu dengan jumlah 10 kasus. Berikutnya Bali dengan 5 kasus, Sulut dan Jakarta (2), dan NTT, Banten, dan Sumut masing-masing 1 kasus.
(rmd/nrl)