Iklan itu dirasakan menghina karena dipublikasikan. Andaikata tidak dipublikasikan, mungkin tidak ada yang komentar, apalagi untuk berpikir dan berbuat memperbaiki nasib para TKI itu. Padahal semua tahu, apa yang sebenarnya dialami mereka sehari-hari selama bertahun-tahun.
Mereka adalah bangsa kita. Para ibu-ibu seperti ibu-ibu kita sendiri yang harus berjuang untuk menghidupi anak-anaknya. Celakanya, mereka juga harus berjuang untuk menghidupi dan memanjakan sang suami, laki-laki malas yang penakut dan tak bertanggungjawab di Tanah Air.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan gaji yang sangat rendah, bekerja tanpa batas waktu, tidak jelas fasilitas apa yang dapat mereka peroleh di luar gaji yang kecil itu. Banyak yang gajinya diperlakukan sebagai bonus. Tidak dibayar atau dipotong kalau dipandang kerjanya tidak memuaskan majikan.
Pihak pengirim tenaga kerja boleh jadi akan membela diri mengatakan bahwa mereka selalu membuat dan menanda tangani perjanjian kerja secara normal. Tetapi dalam praktik, jangankan untuk mengawasi berlakunya perjanjian tersebut, lembaga yang bertanggung jawab sebagai pengirim tenaga kerja itu hampir tidak pernah tahu, siapa bekerja dimana.
Bulan Juli tahun 2011 saya pernah menulis dua buah tulisan dalam ruangan ini. Pertama, berjudul "Menumbuhkan Tanggungjawab Suami dan Konversi Tenaga Kerja". Kedua, berjudul "Menumbuhkan Semangat Berkorban Para Suami". Tulisan itu mendapat tanggapan beragam dari para pembaca.
Tulisan-tulisan itu cenderung, pertama, menyalahkan para suami yang tinggal di desa, tidak merantau mengadu nasib, berusaha dan bekerja keras di mana saja di ruang planet ini untuk menghidupi keluarga. Bukan untuk tinggal di kampung, bermalas-malas, atau lebih celaka lagi, menggunakan hasil pengorbanan isteri untuk kawin lain.
Kedua, saran kepada pemerintah untuk segera menghentikan pengiriman tenaga pembantu perempuan ke luar negeri, mengkonversikan dengan tenaga kerja laki-laki. Atau, mengirimkan suami bagi pembantu perempuan yang telah berada di luar negeri. Singkatnya, biarlah laki-laki yang merantau, walaupun ke planet lain, atau bekerja apa saja untuk menghidupi keluarga. Menghidupi keluarga adalah kewajiban dan tanggungjawab setiap suami, yang harus diajarkan kepada setiap laki-laki sejak bayi.
Sebuah best practice yang barangkali pantas menjadi contoh adalah kebiasaan hidup masyarakat Garut di Kabupaten Pidie, Nanggroe Aceh.Darussalam. Mereka adalah perantau, yang merantau hampir ke seluruh negara di Asia Tenggara dan negara-negara di Timur Tengah. Karena itu mereka sering disebut sebagai "Cina-Aceh".
Pada masa lampau anak-anak muda Garut cenderung akad-nikah pada usia muda, kemudian merantau mempersiapkan diri. Baru kembali ke kampung halaman untuk melaksankan upacara perkawinan, setelah dewasa dan merasa siap membiayai keluarga. Kemudian merantau lagi.
Masyarakat ini pantang mengirimkan istri atau saudara perempuannya menjadi pembantu di daerah lain. Orang miskin tidak boleh bekerja di rumah orang, tetapi di rumah saudara atau familinya. Kedudukannya bukan sebagai pembantu (si duek keubu), tetapi sebagai penolong/saudara. Bekerja kasar ke luar daerah hanya dilakukan oleh laki-laki (dewasa ini, perempuan Pidie juga mulai banyak yang merantau, tetapi sebagai pekerja trampil atau tenaga ahli).
Sekarang, apa yang harus dilakukan pemerintah terhadap TKI ini? Pertama, sudah tiba waktunya bagi pemerintah untuk menghentikan pengiriman tenaga pembantu rumah tangga ke luar negeri. Selanjutnya, mengkonversikan dengan tenaga kerja laki-laki.
Kedua, perluasan kesempatan kerja di pedesaan dengan meningkatkan kesejahteraan hidup para petani. Ini dapat dilakukan dengan membeli hasil pertanian lebih mahal dan menjual ke pasar lebih murah. Bersamaan dengan itu melarang impor hasil pertanian.
Subsidi atau uang yang disuntikkan ke pedesaan itu akan tumbuh secara multiplier-effect yang relatif tinggi karena di pedesaan terdapat marginal propencity to consume yang tinggi dan ini memperluas pasar dalam negeri (domestic purchasing power). Pada gilirannya mendorong perkembangan industri kecil dipedesaan dan memperluas kesempatan kerja.
Ketiga, mendorong pendidikan ketrampilan dan pendidikan bahasa asing di kalangan pemuda desa. Mudah-mudahan mendapat perhatian dari pemerintah, DPR atau dari pihak yang bertanggungjawab lain. Insya Allah, dengan cara demikian, tidak akan ada lagi jual beli perempuan Indonesia seperti yang terjadi di Malaysia itu.
*) Said Zainal Abidin adalah ahli manajemen pembangunan daerah (regional development management) dan kebijakan publik, guru besar STIA LAN. Sekarang sebagai penasihat KPK.
(nwk/nwk)