Perintah adanya amar tersebut terdapat dalam pasal 197 ayat 1 huruf K UU No 8/1981 tentang KUHAP yang berbunyi tentang perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
"Dengan demikian putusan pemidanaan tanpa pasal 197 ayat 1 dan 2 KUHAP, maka menurut hukum putusan itu meruapakan kebatalan yang substansial ataupun kebatalan hakiki," terang Yahya saat memberikan keterangan ahli di Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (5/9/2012).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setiap keputusan yang tidak sah maka tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Akibatnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak bisa mengeksekusi putusan," paparnya.
Sementara itu, kuasa hukum pemohon, Yusril Ihza Mahendra berkeyakinan bahwa permohonannya dapat dikabulkan oleh MK. Namun jika permintaan itu dikabulkan maka putusan itu tidak akan berlaku surut.
"Tapi mereka boleh melakukan perlawanan administratif ke kejaksaan maupun Kemenkum HAM ataupun perlawanan kembali ke pengadilan dengan cara case by case," ucap Yusril.
Seperti diketahui seorang warga negara Indonesia Parlin Riduansyah memohon MK menafsirkan frasa 'batal demi hukum' dalam pasal 197 ayat 1 huruf K KUHAP. Jika MK menyatakan putusan MA tanpa perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan maka orang-orang yang diadili oleh pengadilan tersebut tidak dapat dihukum.
(rvk/asp)