"Juga terjadinya kerusakan lingkungan dan bertambahnya penduduk akan membuat semakin berat penyediaan air di Jawa," Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho dalam siaran pers, Jumat (31/8/2012).
Sutopo menjelaskan, kekeringan menyebabkan krisis air makin meningkat. Secara global 1 dari 4 orang di dunia kekurangan air minum, dan 1 dari 3 orang tidak dapat sanitasi layak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kriris air pun akan terjadi di Indonesia. Saat musim kemarau saja sejumlah wilayah di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara sudah mengalami defisit air sejak 1995.
"Defisit air terjadi selama 7 bulan pada musim kemarau. Surplus air berlangsung 5 bulan saat penghujan. Diproyeksikan tahun 2020 potensi air yang ada hanya 35% yang layak dikelola yaitu 400 m3/kapita/tahun. Angka ini jauh dari standard minimum dunia 1.100 m3/kapita/tahun," ungkapnya.
Sejak tahun 2003 terdapat 77 persen kabupaten atau kota di Jawa yang memiliki defisit air selama 1-8 bulan dalam setahun. Bahkan sebanyak 36 kabupaten atau kota mengalami defisit air 5-8 bulan dalam setahun.
"Jadi bukan hal yang aneh jika saat ini terjadi dampak kekeringan, khususnya di Jawa," imbuhnya.
Upaya mengatasi krisis air dengan distribusi air, hujan buatan, pemboran sumur pun hanyalah solusi singkat yang belum mengatasi masalah dengan tuntas.
"Diperlukan upaya penyediaan air secara besar-besaran. Pembangunan waduk, bendung, embung, dan pengelolaan DAS dapat mengatasi masalah yang ada. Namun ini perlu dukungan politik, dana dan partisipasi masyarakat yang besar," terangnya.
Partisipasi masyarakat perlu didorong melalui ekonomi kerakyatan yang langsung memberikan peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. "Pembangunan embung dan waduk kecil di sungai-sungai orde 1 perlu dibangun di banyak tempat. Upaya ini bisa mengatasi kekeringan yang rutin tiap tahun. Jika tidak maka kekeringan berkelanjutan yang ada," tegasnya.
(ndr/nrl)