"Pasti itu (evaluasi putusan-putusan bebas Kartini), kan sudah dikasasi pasti diperiksa dengan teliti. Nggak ada ada jaminan untuk ditolak semua," ujar Kabiro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur di kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis (23/8/2012).
Menurut Ridwan, evaluasi itu akan dilakukan dari pemeriksaan terhadap fakta-fakta persidangan dan dari bukti-bukti yang ada. "Biasanya MA bisa tahu mana putusan yang dibebas-bebasin atau memang putusan itu bebas, pasti ketahuan. Dari pertimbangan putusannya ada ketahuan," tuturnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya pasti (dilakukan evaluasi terhadap pengadilan tipikor di daerah). Dalam perjalanannya kan hakim tipikor ini yang awalnya mensupport hakim-hakim karir dalam melaksanakan pengadilan, malah dari presentasi mereka melakukan pelanggaran-pelanggaran," tuturnya
Salah satu bentuk evaluasi yang akan dilakukan adalah dalam proses rekruitmen hakim adhoc Tipikor. Menurutnya, untuk menjadi menjadi hakim adhoc itu harus memiliki pengalaman selama 20 tahun. Artinya menjadi hakim adhoc pada usia 40 tahun.
"Kalau orang sudah umur segitu yang berdedikasi pasti sudah punya posisi bagus. Akhirnya kenapa yang melamar (hakim adhoc) jadi kebanyakan job seeker, pengacara yang tidak laku, dosen-dosen yang tidak jelas, atau mungkin dari perusahaan apa gitu," ungkap Ridhwan.
Oleh karenanya diperlukan regulasi soal rekruitmen hakim adhoc, karena undang-undang yang menentukan harus ada tim adhoc. Sehingga ke depan, menurutnya bisa memikirkan kembali apakah jumlahnya hakim adhoc terlalu banyak ataukah mungkin betul-betul selektif.
"Bisa saja proses rekruitmennya diganti, tapi kan tergantung sama undang-undang. Karenanya untuk mengawasi semuanya mahkamah agung tidak bisa, makanya minta bantuan sama ICW untuk mengawasi mereka, KY juga KPK," ucapnya.
(iqb/ahy)