"Menurut saya untuk selesainya persoalan seperti ini, mestinya mereka, KPK-Polri duduk bersama. Tujuan mereka kan sebenarnya satu yaitu pemberantasan korupsi. Kalau tidak ada inisiatif bersama, Presiden yang harus turun tangan," kata Harifin Tumpa kepada wartawan di kantor KIP, gedung Wisma ITC Lantai 5, Jalan Abdul Muis, Jakarta Pusat, Senin (13/8/2012).
Menurut Harifin, turunnya tangannya Presiden bukan berarti intervensi kepala negara dalam penegakan hukum. Malah menjadi kewajiban Presiden mensinergikan jalannya tata laku bernegara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyelesaian ini dirasa perlu dilakukan secara cepat. Sebab bisa-bisa penegakan hukum kasus korupsi bernilai puluhan miliar rupiah ini menjadi mandek.
"Kalau mereka duduk bersama, untuk menyelesaiakan persoalan ini, mereka tidak akan ribut. Polri punya dasar hukum sendiri, KPK juga punya dasar hukum sendiri. Jalan keluarnya kedua pihak harus bicara bersama, agar proses hukum tidak terus mandek," ungkap Harifin.
Beda Harifin, beda pula menurut pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Yusril menilai Polri memang lebih kuat dalam menangani kasus simulator SIM. Namun Yusril menyarankan agar penanganan kasus ini diserahkan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Saya melihat lebih kuat polisi. Karena saya yang menyusun UU KPK. Ya taatilah UU. Satu-satunya jalan menyerahkan ke MK," kata Yusril, Senin (6/8/2012).
(asp/nrl)