Kisah Pilu Pengungsi Rohingya di Kamp Cox's Bazaar

Kisah Pilu Pengungsi Rohingya di Kamp Cox's Bazaar

- detikNews
Jumat, 03 Agu 2012 11:17 WIB
ACT
Kutupalong - Para muslim Rohingya, Myanmar, mengalami penindasan di negaranya. Pemerintah Myanmar tidak berbuat banyak, sehingga mereka pun mengungsi mencari tempat aman. Di antara mereka mengungsi ke Kutupalong, Distrik Cox's Bazaar, Chittagong, Bangladesh.

β€œRumah kami dibakar oleh mafia,” kata Nur Muhammad, salah seorang pengungsi Rohingya di kamp Kutupalong, Cox'z Bazaar kepada relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Andhika seperti rilis ACT yang diterima detikcom, Jumat (3/8/2012).

Andhika yang membawa bantuan dari masyarakat Indonesia untuk pengungsi Rohingya mendatangi kamp pengungsian ini setelah mengarungi perjalanan darat dari Dhaka, Bangladesh. Jarak Dhaka ke Cox's Bazaar sekitar 300 km.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bersama seorang relawan bernama Arif Rahman Saky dan relawan lokal bernama Mostak Ahmad Khondakar, Andhika kemudian menyewa mobil untuk berangkat menuju Teknaf. Perjalanan ke Teknaf diperkirakan menempuh jarak 75 km, dengan perkiraan waktu 2 jam.

Namun baru setengah jalan menuju Teknaf, tim melintasi Kutupalong dan menemukan satu kamp penuh pengungsi. Menurut informasi dari Saiful Islam, pengemudi, di kamp itulah pengungsi Rohingya tinggal. Akhirnya tim berhenti untuk singgah di kamp tersebut.

Di kamp tersebut Andhika dkk bertanya kepada seorang pengungsi, Nur Muhammad, 42 tahun dengan 8 anak. Dia mengaku terpaksa pergi dari kampung halamannya di Myanmar karena rumahnya dibakar oleh mafia. Ia berhasil melarikan diri ke Bangladesh, namun bantuan yang ia terima sangat minim. Begitu juga dengan pengungsi lainnya, yang rata-rata sudah mendiami kamp tersebut lebih dari 20 tahun.

Seorang pemuda berusia 18 tahun, Muhammad Kasham mengatakan ia lahir di kamp ini. Dan anak-anak di kamp tidak mendapatkan pendidikan semestinya. Pendidikan hanya diberikan kepada anak-anak yang telah terdaftar di UNHCR. Kasham juga menunjukkan rumah-rumah yang ada di kamp.

Tim sempat memasuki satu rumah yang sangat tidak layak. Pemilik rumah, Abul Alam, 55 tahun sakit-sakitan. Ia mengaku tidur di rumah itu bersama anak-anaknya. Ia sempat dirawat oleh klinik yang diselenggarakan MSF namun hanya untuk perawatan primer..

Lalu ada seorang Ibu yang menceritakan kondisi kampungnya. Anak muda ditangkapi semuanya, akhirnya ia mengungsi ke Bangladesh dan ditempatkan di Kutupalong.

Kehidupan pengungsi di Kutupalong jauh dari layak. Ketersediaan fasilitas air bersih dan sanitasi sangat kurang. Jumlah pengungsi sekitar 50 ribu orang dan 35 ribu di antaranya anak-anak yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk. Karena anak-anak tersebut tidak sekolah, akhirnya anak-anak menjadi pengemis di sekitar kamp.


(asy/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads