Nasib Pendidikan Anak TKI di Malaysia: 1 Ruang Kelas, 2 Negara, 3 Bahasa

Laporan dari Sabah

Nasib Pendidikan Anak TKI di Malaysia: 1 Ruang Kelas, 2 Negara, 3 Bahasa

- detikNews
Selasa, 31 Jul 2012 01:04 WIB
Nasib Pendidikan Anak TKI di Malaysia: 1 Ruang Kelas, 2 Negara, 3 Bahasa
Suasana belajar di SD Sapi 2, Sabah, Malaysia (Foto: Andi Saputra/detikcom)
Jakarta - Puluhan anak-anak di ruang kelas duduk bersesakan. Senyum mereka lepas tanpa beban. Beberapa diantaranya asik berbicara sendiri layaknya anak-anak seusianya.

"Saya senang sekolah di sini. Saya suka pelajaran sains," kata siswa kelas 3, Haikal, saat ditemui detikcom di SD Sapi 2, Sabah, Malaysia, Senin (30/7/2012).

Haikal dan siswa lainnya merupakan anak-anak TKI yang mendapat fasilitas pendidikan yang disediakan perusahaan kelapa sawit. Mereka memenuhi ruangan 20 x 20 meter dengan bantuan dari LSM asal Swedia dan tenaga pengajar dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam satu ruang tersebut mereka harus mempelajari dua kurikulum pendidikan dua negara yaitu Malaysia dan Indonesia. "Kalau dari Malaysia mendapat pelajaran Bahasa Melayu, Bahasa Inggris, Sains dan Matematika," kata guru asal Indonesia, Nur Eka Febrianti.

"Pertama kali kami masuk, mereka hapalnya lagu kebangsaan Malaysia dan lagu negara Sabah. Kini mereka sudah hapal lagu Indonesia Raya," tambah perempuan berjilbab jebolan Universitas Negeri Surabaya (Unesa-dulu IKIP) ini.

Sedangkan mata pelajaran dari Indonesia yaitu IPS dan Agama Islam. Nah karena sistem campuran maka mereka pun akhirnya harus mempelajari tiga bahasa yaitu bahasa Inggris, bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia. Akibatnya mereka menjadi lamban dengan beban bahasa yang banyak tersebut.

"Mereka mengeja kata AYAM tetapi dengan ejaan bahasa Inggris, ai, way, a, aim," cerita Eka.

Dalam satu ruang tersebut juga terdapat empat kelas yaitu kelas 1, kelas 2, kelas 3, kelas 4 dan hanya satu papan tulis. Bergabung menjadi satu tanpa sekat dan duduk berdampingan. Kondisi ini membuat 2 guru menyiasati dengan membagi tugas mengajar dan membagi satu papan tulis menjadi 4 kolom.

"Kalau pelajaran yang ramai seperti menyanyi ya kita samakan semua," ujar lajang asal Mojokerto, Jawa Timur ini.

Ragamnya hal ini karena mereka berada di wilayah abu-abu. Penyandang dana mereka dari NGO asal Eropa sehingga menerapkan kurikulum berbahasa Inggris. Kedua karena sekolah ini berada di atas tanah Malaysia, maka Kerajaan Malaysia pun merasa berdaulat atas kurikulum sehingga memasukkan mata pelajaran bahasa Melayu dan kebansaan Malaysia. Terakhir mereka adalah warga negara Indonesia sehingga harus mengenal negara Indonesia yang belakangan kurikulumnya diperjuangkan oleh Kemendikbud.

"Target kami mereka bisa membaca, menghitung dan menulis. Bagaimana lagi kalau keadannya seperti ini," ujar Eka.

(asp/trq)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads