"Jadi persoalan pindah partai itu sebenarnya gejala yang sangat umum terjadi di negara-negara yang demokrasinya sudah relatif stabil. Biasanya yang paling sering adalah legislator, tahun ini di partai A, besok lagi di partai B. Gejala di Indonesia hari ini bahwa politisi pindah parpol itu terjadi karena parpol lemah. Jadi gampangannya gampang, ini rumput sebelah lebih hijau, loncat lah dia," kata pengamat politik Hamdi Muluk dalam diskusi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (26/7/2012).
Di beberapa negara juga banyak politisi pindah partai. Namun politisi yang pindah-pindah tak bisa menembus partai besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena itu penting sekali ideologi partai diperkuat. Di negara dengan demokrasi yang matang, ideologi partai kuat dan mekanisme rekrutmen caleg juga kuat.
"Gejala pindah partai itu terjadi karena sistem kepartaian yang lemah. Karena jumlah partai yang terlalu banyak, ideologi tidak jelas, party identification-nya tidak jelas. Jadi kalau sudah matang, masyarakat akan merasa menjadi simpatisan dan siap menjadi volunter. Biasa partai yang stabil masuk tahap seperti itu. Misalnya di Amerika hanya ada dua partai,"katanya.
Dalam posisi seperti itu, parpol didukung kuat oleh masyarakat. "Partai akan dapat support masyarakat. Partai akan menjadi milik publik dan semua unsurnya bisa dikontrol oleh publik. Dia bisa didanai oleh publik. Pasti fair, tidak ada lagi persoalan ini partai dikangkangi petinggi-petinggi, ini oligarki, orang-orang berpotensi dipinggirkan, itu kan tidak sehat,"lanjutnya.
Anggota yang ingin pindah pun harus berpikir seribu kali. Karena harus benar-benar meyakinkan masyarakat.
"Di negara yang sudah seperti itu kepindahan senator pindah partai itu kecil. Dia harus menjelaskan ke publik dengan memuaskan. Kalau orang bisa menerima dia bisa bertahan, kalau enggak dia dikecam,"pungkasnya.
(van/mpr)