"Secara empiris, kita belum bisa menggunakan contoh DKI Jakarta untuk mengeneralisasi pola koalisi di 2014. Karena sentimen publik terhadap kinerja pemerintahan di sejumlah daerah berbeda-beda begitu juga dengan karakter kandidat dan isu/program yang diusung setiap kandidat," ujar Arya Fernandes, pengamat politik dari Charta Politika, dalam rilisnya kepada detikcom, Sabtu (14/7/2014).
Menurut Arya, pada batas-batas tertentu ada pengaruhnya koalisi parpol Pilgub dengan koalisi parpol Pilpres 2014 mendatang. Akan tetapi tidak terlalu signifikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arya memprediksi, basis pembentukan koalisi di Pilpres 2014 mendatang antara lain sentimen publik terhadap pemerintah, karakter personal kandidat yang diusung, dan kedekatan program dan isu. Semakin positif atau kuat karakter kandidat yang diusung akan semakin menjadi magnet untuk menciptakan koalisi.
"Begitu juga dengan kesamaan program dan isu," ucap Arya.
Arya menambahkan, basis pembentukan koalisi pada putaran kedua pilgub DKI Jakarta adalah sentimen publik terhadap kinerja pemerintahan DKI Jakarta dan kedekatan program antar-kandidat.
"Bila tren kepuasan publik terhadap cagub Fauzi Bowo (Foke) terus mengalami penurunan, partai-partai saya kira akan sangat mempertimbangkan mendukung Jokowi. Selain itu, bagi partai sendiri pertimbangan pola koalisi lainnya adalah seberapa besar insentif elektoral yang akan mereka dapatkan dengan mendukung salah satu kandidat," tutur Arya.
Kedekatan program antar-kandidat, lanjut Arya juga mempengaruhi pola koalisi. Kandidat yang selama ini menghantam dan mengkritik kinerja Foke tentu akan berfikir panjang mengalihkan dukungan ke Foke.
"Karena akan dipersepsikan pemilih sebagai kandidat yang tidak konsisten," demikian Arya.
(nik/gah)











































