Sepakbola itu Misteri dan Kadang Tak Adil
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Sepakbola itu Misteri dan Kadang Tak Adil

Jumat, 29 Jun 2012 11:54 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - Babak demi babak pertandingan Piala Eropa 2012 di Polandia-Ukraina, tinggal menyisakan pertandingan final antara Italia melawan Spanyol. Sejak pertandingan pertama bergulir, antara Yunani melawan Polandia, banyak kejutan yang terjadi.

Kejutan pertama, adalah tersingkirnya tim nasional unggulan, Belanda, dari penyisihan grup. Dari tiga kali pertandingan, melawan Jerman, Denmark, dan Portugal, Belanda tak satu pun meraih angka, sehingga nilai yang didapat hanya 0. Piala Eropa kali ini bisa jadi merupakan catatan terburuk tim orange itu selama mengikuti Piala Eropa.

Saat memasuki babak perempat final, di mana sistem gugur berlaku, di sinilah letak uji tangguh tim nasional dibuktikan, sehingga tim nasional-tim nasional seperti Perancis dan Inggris pun harus tersungkur dalam babak ini. Kekalahan tim nasional Inggris yang dikalahkan Italia, bisa jadi Inggris kalah nasib, sebab kalah menangnya pertandingan saat itu dilakukan lewat adu pinalti. Di mana Inggris yang tak punya mental menang dalam adu pinalti, akhirnya tersingkir oleh Italia, 2-4. Sedang Perancis, yang disebut mengalami perpecahan di tubuh tim nasionalnya, akhirnya harus menyerah melawan Spanyol, 0-2.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebuah catatan selama Piala Eropa 2012 ini, menunjukan kadang-kadang sepakbola itu tidak adil. Tidak adil sebab sebuah kesebelasan yang secara penuh menguasai pertandingan belum tentu ia akan memenangi pertandingan. Tim yang tangguh yang dari menit ke menit tak berhenti menyerang, terkadang dikalahkan oleh tim yang cenderung bertahan dan sesekali menyerang. Kalkulasi prosentase penguasaan bola bukan menjadi ukuran kalah dan menang. Tim yang mempunyai prosentase menguasai bola 65%, bisa kalah oleh tim yang menguasai bola hanya 35%. Di sinilah letak 'tak adilnya' sepakbola.

Sepakbola tidak bisa diibaratkan dengan seorang anak yang cerdas yang memiliki IQ tinggi, sehingga ia selalu memperoleh nilai baik dalam setiap ujian sekolah. Sepakbola ternyata bukan seperti singa perkasa di rimba raya di mana seluruh hewan takluk padanya. Sepakbola ternyata tidak seperti dalam dunia preman, yakni yang kuat dan berani, yang ditakuti. Dan sepakbola ternyata tidak bisa diukur dan dihitung dengan prediksi dan rumus-rumus di atas kertas.

Sebelum pertandingan Piala Eropa 2012, dalam sebuah acara televisi seorang pengamat memprediksi bahwa yang bertemu dalam final adalah Belanda dan Jerman. Prediksi yang didasari banyak pertimbangan dan pengamatan itu ternyata meleset jauh. Di mana Belanda tersingkir paling awal, dan Jerman juga demikian, dalam semifinal kalah dengan Italia 1-2.

Banyak pengamat memprediksi, dalam semifinal antara Jerman dan Italia, Jerman mampu mengalahkan Italia dan maju ke final. Dalam semifinal, Jerman pun banyak memiliki peluang, namun entah karena Italia lebih mujur, Jerman berhasil dikalahkan.

Dalam sepakbola faktor keberuntungan, kelengahan, dan kecerobohan, ikut menjadi faktor penentu hasil akhir pertandingan. Tim nasional Rusia yang bertanding pertama kali melawan Ceko menang 4-1, namun ia tidak lolos dalam penyisihan grup, karena dalam pertandingan berikutnya, ia hanya mampu bermain imbang dengan dengan Polandia, 1-1; dan kalah dari Yunani, 0-1.

Sepakbola ternyata lepas dari hukum-hukum ilmu pasti. Sepakbola ternyata misteri. Siapa yang kalah dan siapa yang menang baru bisa diketahui usai 90 menit, extra time, atau adu pinalti. Sebelum waktu usai, yang membikin gol lebih dahulu belum tentu akan menjadi pemenang. Lihat saja, dalam pertandingan final Piala Eropa 1996 antar Ceko dan Jerman, Ceko unggul lebih dahulu, waktu pun hampir usai, namun dalam detik-detik terakhir, Jerman mampu mencetak gol sehingga skor akhir 2-1 buat Jerman. Jerman-lah yang berhak mengangkat trofi.

Sepakbola itu ternyata penuh misteri, ia seperti nasib dan kematian. Orang tidak tahu kapan seseorang mati. Banyak orang yang sehat, tetapi tiba-tiba mati. Demikian pula banyak orang sakit namun ia bisa sembuh. Seperti nasib, orang tak tahu kelak mau jadi apa dia. Orang yang masa lalunya susah, ternyata ia bisa berubah menjadi kaya raya. Pun sebaliknya, orang yang awalnya hidup bergelimang harta, tiba-tiba jatuh miskin dan jadi gelandangan. Dalam Piala Eropa 1992, Denmark yang tidak diperhitungkan namun tiba-tiba mampu menjadi juara Piala Eropa. Demikian pula Yunani dalam Piala Eropa 2004.

Memang dalam sepakbola, kesebelasan yang memiliki banyak pemain yang tangguh, strategi yang jitu, dukungan suporter yang riuh, sebagai faktor yang dominan untuk memenangi pertandingan. Namun faktor-faktor itu bukan jaminan 100 persen. Dengan kemisterian dan kadang dirasa tak adil itulah yang membuat sepakbola penuh dengan kejutan-kejutan. Mungkin dengan kemisterian dan ketidakadilan inilah yang membuat sepakbola menjadi menarik. Dalam waktu 90 menit, extra time, dan adu pinalti, semuanya dibuat dag dig dug. 

*) Ardi Winangun adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Matraman, Jakarta. Nomor kontak: 08159052503. Email: ardi_winangun@yahoo.com

(vit/vit)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads