"Mereka datang ketika keadaan sudah tegang atau datang saat serangan terjadi, atau datang setelah benturan dan serangan terjadi," kata Rizal Panggabean dalam diskusi 'Polisi dan Pemolisian Agama' di Kampus Fisipol, Universitas Gadjah Mada (UGM), Senin (4/6/2012).
Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) itu menilai polisi belum optimal dalam memelihara dan melindungi kebebasan beragama setiap warga negara. Yang lebih mengkhawatirkan, lanjut dia, polisi lebih banyak memihak kelompok agama mayoritas dibanding minoritas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Polisi juga lebih banyak diam saat terjadi konflik," katanya.
Dia mencontohkan kasus Cikeusik, polisi ditugaskan hanya untuk merekam gambar saat warga Ahmadiyah dibantai. Tidak ada polisi dalam jumlah yang memadai untuk mencegah pembunuhan. Sementara insiden di Palu Barat, polisi yang datang tidak bawa senjata dan pemulul akibatnya kelompok Madi membantai tiga perwira polisi.
"Sebagai pengayom masyarakat polisi seharusnya jadi cerminan masyarakat termasuk paham kegamanaan dan ideologisnya. Karena itu polisi harus lebih mengedepankan kebebasan beragama," katanya.
Menurut dia meskipun bukan pihak satu-satuya yang bertanggungjawab dalam memelihara dan melindungi kebebasan beragama namun kerjasama polisi dengan para tokoh agama dan pemerintah mampu mencegah timbulnya konflik.
"Ahmadiyah di Garut tidak ada konflik karena tokoh Ahmadiyah dan polisi bekerjasama," katanya.
Rizal menyarankan pemimpin ormas keagamaan harus secara terbuka dan memberi dukungan kepada Polri untuk membela kebebasan beragama dan bertindak mengatasi konflik agama.
(bgs/try)