Mega mengawali kisahnya dari keluarga. Dia mengenalkan diri sebagai putri Soekarno, presiden pertama Indonesia.
"Kepemimpinannya tidak hanya membawa bangsa Indonesia ke depan pintu kemerdekaan, namun mampu menjadi sumber inspirasi bagi gelombang kemerdekaan di Asia-Afrika," kata Mega seperti tersalin dalam rilis yang diterima wartawan dari Sekretariat DPP PDIP, Selasa (15/5/2012).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Disitulah saya melihat langsung spirit para pemimpin Gerakan Non Blok, laki-laki dan perempuan, dalam membangun tata dunia baru yang lebih adil dan beradab," ujarnya.
Selepas tahun 1965, Mega memilih mundur perlahan dari dunia politik karena kondisi saat itu tidak memungkinkan bagi keluarga Bung Karno untuk berpolitik. Namun pada tahun 1986, Mega kembali ke jalurnya.
"Saya memutuskan bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai yang selalu mengalami pengkerdilan dan penindasan oleh rezim otoritarian, namun memiliki kemampuan untuk bertahan dan menunjukan wataknya sebagai partai ideologi yang diwarisi dari Bung Karno," imbuhnya.
Kiprah politiknya pun terus berjalan bersama PDI yang namanya menjadi PDI Perjuangan. Mega juga menyebutkan pengalamannya sebagai Wakil Presiden dan Presiden.
Mega menjelaskan di masa kepemimpinannya, untuk pertama kalinya digelar pemilihan presiden secara langsung pada tahun 2004. Para pengamat dan lembaga pemantau baik lokal maupun internasional, kata Mega, secara kompak menyepakati, bahwa Pemilihan Umum 2004 adalah pemilihan umum yang sangat demokratis.
"Bagi cukup banyak orang, kesulitan-kesulitan yang saya alami boleh jadi adalah gambaran dari betapa kerasnya tantangan bagi seorang perempuan dalam dunia politik. Sebaliknya, keberhasilan yang saya catat boleh jadi dipahami sebagai prestasi dari seorang politisi perempuan," tuturnya.
Namun Mega menegaskan, tantangan dan keberhasilan dalam berpolitik tidak terkait dengan jenis kelamin perempuan atau laki-laki. "Bukan soal gender. Saya tidak pernah membelah politik berdasarkan perbedaan gender," pungkasnya.
Tantangan perempuan Indonesia, lanjut Mega adalah upaya menjadikan politik sebagai sebuah gerakan bagi Indonesia dan kemanusiaan yang lebih baik. "Itulah yang saya lakukan, membangun kembali kesadaran politik kaum perempuan Indonesia untuk berani memilih jalan politik," ujar dia.
Perjuangan ini sebut Mega tidak mudah. Justru dalam era modern, pilihan politik bagi perempuan dalam pandangannya mengalami kemunduran dari aspek idealisme. "Keterlibatan kaum perempuan dalam politik justru kembali dibatasi. Bahkan banyak diantaranya yang tidak bisa aktif hanya karena alasan sederhana, yakni tidak diijinkan oleh suaminya," keluhnya.
Secara khusus Mega mengungkap cerita mengenai proses Pilpres 2004 yang saat itu dimenangkan Susilo Bambang Yudhoyono. Mega saat itu berkomitmen menyelenggarakan Pemilu dengan asas jujur, adil dan demokratis.
"Hal ini tidak mudah. Tantangan terbesar adalah apakah saya harus memenangkan diri saya dalam Pemilihan Presiden 2004 atau memenangkan demokrasi. Ketika dihadapkan pada pilihan ini, dengan sangat yakin saya memilih yang kedua: memenangkan demokrasi karena saya berkeyakinan rakyatlah pemegang kedaulatan tertinggi," kisahnya.
Pilihan tersebut tidak mudah. Mega harus menghadapi banyak bujukan dan tekanan. Berbagai bujukan untuk menggunakan birokrasi sebagai presiden incumbent; godaan untuk menggunakan sumber-daya negara untuk memenangkan dirinya.
"Saya memilih untuk menolak semua tawaran dan tekanan dari kekuatan anti demokrasi di atas," katanya.
"Dan anehnya, hingga saat ini, saya tidak pernah menyesali, bahkan sebaliknya merasa bangga dengan keputusan yang saya ambil di atas," lanjutnya
Mega berharap tindakannya menolak cara 'tak halal' untuk menggapai kekuasaan, diikuti calon pemimpin berikutnya. "Semoga pengalaman saya ini semakin menjadi inspirasi, tidak hanya bagi kaum perempuan, tetapi bagi seluruh warga bangsa, untuk tidak ragu menempuh jalan politik," tutup Mega.
(fdn/mad)