Cerita tersebut ketika orang tua Septem, menginginkan anaknya menjadi PNS di Pemkot Bengkulu pada 2006 silam. Lalu dihubungilah pejabat kota setempat Tjahja Chairani dan Apifudin.
Calo yang juga sepasang suami istri ini menjanjikan Saptem bisa menjadi PNS dengan menyetorkan Rp 60 juta lewat jalur penyisipan. Permintaan ini disanggupi kedua orangtuanya dengan mengumpulkan uang dari utang bank dan sanak keluarga hingga terkumpul sejumlah uang yang diminta. Selain itu Saptem juga diminta menyerahkan fotocopy kartu tes, ijazah S1, transkrip nilai dan fotocopy KTP. Lalu uang tersebut pun di kirim ke kedua calo tersebut dengan harapan bisa lolos ujian PNS.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak mendapat kejelasan, maka orang tua Saptem yang tinggal di Gading Cempaka, Bengkulu pun mengambil langkah hukum. Yaitu dengan cara melayangkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Bengkulu.
Setelah melalui proses persidangan, pada 3 Maret 2009 majelis hakim menghukum Tjahja Chairani dan Apifudin untuk mengembalikan Rp 60 juta. Selain itu juga diharuskan membayar denda sebesar 10 persen dari Rp 60 juta sejak perkara tersebut didaftarkan.
Tidak terima, kedua calo tersebut lalu banding. Tapi usahanya mengalami jalan buntu sebab Pengadilan Tinggi (PT) Bengkulu menguatkan putusan tingkat pertama tersebut dan hanya merubah denda dari 10 persen menjadi 6 persen. Mendapati putusan banding, pasangan PNS ini pun melawan dengan jalan terakhir: kasasi.
Tetapi ternyata Mahkamah Agung (MA) pun tetap bergeming. Menurut majelis hakim kasasi, putusan tingkat pertaam dan banding tidak melanggar hukum/UU. "Menolak kasasi pemohon kasasi," kata ketua majelis M.Saleh dan anggota Mieke Komar dan Achmad Yamanie.
(asp/mad)