Insiden itu terjadi di Pengadilan Tipikor, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (26/4/2012). Saat itu Siti ditanya Ahmad Dinar, "Pernah nggak tanda tangan surat tanpa tanda tangan sekjen? Karena sesuai keterangan saksi harus ada tandatangan sekjen dulu baru Ibu?" tanya Ahmad.
"Tidak, tidak pernah seperti itu," jawab Siti.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ahmad lalu membawa surat ke hadapan ketua majelis hakim Mien Trisnawati dan menunjukkannya. Di surat tertanggal 22 November 2005 itu tidak ada tandatangan sekjen namun ada tandatangan Siti.
Siti pun tidak mau kalah dengan aksi Ahmad. Dia mengatakan mempunyai bukti jika surat yang Ahmad pegang direkayasa. Siti lantas maju ke meja hakim.
"Ini waktunya tidak sama, yang dia tunjukkan 22 Desember 2005. Sebelumnya saya pernah lihat tanggalnya di-tip-ex (hapus). Jadi surat ini kayanya didobel," kata Siti sambil menggebrak meja. Brak!
Melihat ini, ketua majelis hakim Mien Trisnawati memperingatkan Siti. "Saudara saksi harap untuk menjaga emosi jangan memukul meja majelis hakim," kata Mien.
Siti lalu menyatakan tandatangan yang dimiliki Ahmad diputus dari surat induknya. Tepuk tangan dari sekitar 60 orang dari Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) membahana.
Sebelumnya Siti mengaku kepada hakim, kasus alat kesehatan itu bermula dari adanya surat dari Mulya Hasjmy. Surat itu merupakan surat permintaan penunjukan langsung dari Mulya Hasjmy karena adanya banjir bandang di Kutacane, Aceh, tahun 2005.
Saat itu sudah ada 21 orang meninggal, 66 orang dirawat dan 3.000 mengungsi. Di RS di Kutacane tidak memiliki alat standar yang lengkap.
"Jadi ketika itu saya berdiskusi dengan pak sekjen dan memutuskan kalau itu bagian dari KLB. Pak Sekjen itu menceritakan ke saya secara verbal isi surat itu," beber Siti.
(nik/vit)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini