Berbagai kalangan, baik anggota DPR-RI, mahasiswa, mantan Menteri dan sebagainya, memunculkan berbagai versi hitung-hitungan dengan asumsi sendiri yang tampak dramatis lalu di-blast atau di sebar melalui jaringan sosial. Seolah-olah hitungan itu valid dan benar. Sementara tiada pernyataan resmi satu pun dari pihak pemerintah, melalui juru bicara resmi, yang menyanggah atau mengeluarkan hitung-hitungan 'sahih' versi pemerintah sebagai dasar keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi.
Dari sisi regulasi dan pengawasan, pemerintah masih mempunyai banyak pekerjaan rumah terutama dengan Komisi VII dan Badan Anggaran (Bangar) DPR RI. Misalnya saja merevisi UU APBN 2012, mempersiapkan besaran subsidi energi dan BBM untuk APBNP 2012, mempersiapkan pelaksanaan dan pengawasan pengurangan subsidi BBM yang rencananya akan dimulai 1 April 2012.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk itu saya bertanya, apakah Presiden SBY masih mempunyai nyali untuk melaksanakan kebijakannya ditengah demo yang terus terjadi di beberapa kota besar di Indonesia? Di Makassar, sebuah truk pengangkut Coca Cola pun sudah dibakar. Dalam pertemuan penulis bersama beberapa tokoh masyarakat dengan Wapres pada tanggal 21 Maret 2012 lalu, tersirat bahwa Wapres khawatir kalau demo terus tereskalasi Presiden akan berpikir ulang.
Masalah Utama Kekusutan Pencabutan Subsidi BBM
Persoalan utama kusutnya permasalahan BBM bersubsidi ini, pertama adalah terus menurunnya lifting oil yang dilakukan oleh BP Migas sejak 10 tahun terakhir ini. Target sudah tidak pernah tercapai, salah satunya karena ketiadaan investasi baru di sektor eksplorasi migas dan sudah semakin tuanya sumur-sumur migas di Indonesia.
Kondisi tersebut diperburuk dengan kinerja BP Migas yang semakin hari semakin tidak optimal. Selain tidak bisa memenuhi target oil lifting setiap tahunnya dan tidak bisa mewujudkan sumur baru, juga menghabiskan devisa untuk operasional yang besar dan cenderung tidak terukur karena ketiadaan Dewan Pengawas di BP Migas. Selain itu anggaran BP Migas/tahun tidak perlu persetujuan DPR-RI seperti menaikan harga BBM. Patut diduga ini menjadi salah satu penyebab cost recovery di migas besar dan mengurangi jatah penerimaan pemerintah dari bagi hasil minyak dengan kontraktor migas.
Masalah kedua adalah tidak adanya lembaga atau siapa yang berhak bicara ke publik sebagai juru bicara pemerintah dalam mengkomunikasikan kemelut kenaikan harga BBM ini? Menteri Komunikasi dan Informasi-kah? Atau Ketua Tim Sosialisasi Kenaikan BBM Kementerian ESDM-kah? Atau Juru Bicara Kepresidenan-kah? Atau Wakil Presiden-kah? Atau Menteri ESDM-kah? Gelap dan nyaris tak terdengar!
Masalah ketiga adalah keragu-raguan pemerintah atau Presiden SBY mengambil keputusan menjadi salah satu penyebab utama isu kenaikan BBM ini. Isu ini menjadi terpolitisasi dan semakin membodohi publik karena tak kunjung diputuskan. Pada tahun 2011 ketika rencana ini mulai dimunculkan bahwa harga BBM bersubsidi akan naik pada tahun 2012, seluruh partai koalisi mendukung pemerintah, kecuali PDIP. Namun ketika isu kenaikan BBM mulai ramai dibahas pro kontranya, bau busuk politiknya menjadi semakin menyebar dan partai koalisi terpecah.
Andaikan rapat persoalan pengurangan subsidi BBM di kantor Dirjen Migas pada akhir Desember 2011 dapat memutuskan bahwa pemerintah memilih opsi menaikan harga BBM bersubsidi daripada melakukan pembatasan (seperti yang saat itu diputuskan), tentunya akan berbeda situasinya. Keraguan pemerintah atau Presiden SBY patut diduga menjadi penyebab bertambah kusutnya persoalan ini.
Langkah Tegas yang Harus Diambilย
Pemerintah harusnya segera memberikan pernyataan resmi yang sahih, melalui juru bicara resmi, tentang kondisi keuangan negara. Khususnya terkait dengan terus menurunnya penerimaan sektor migas di APBN. Penjelasan tersebut menjadi penting karena harus menjawab berbagai pernyataan dan perhitungan pihak lain yang dipahami oleh publik benar. Meskipun analisa atau perhitungan tersebut belum tentu benar dan juga belum tentu ngawur.
Kalau BP Migas tidak efektif mengelola migas kita, bubarkan dan kembalikan saja fungsi BP Migas ke Pertamina. Tentunya UU No 22 tahun 2001 tentang Migas harus direvisi terlebih dahulu. Petronas bisa mengapa Pertamina tidak? Sementara cara Petronas mengelola BBM-nya belajar dan menggunakan cara Pertamina mengelola migas di zaman alm Ibnu Soetowo, hanya korupsinya yang tidak ditiru oleh Petronas.
Kemudian jika gagal menaikkan BBM bersubsidi maka pemerintah harus berjibaku mengelola keuangan negara di mana subsidi untuk BBM, energi dan sebagainya di APBNP 2012 akan mendekati angka Rp 300 triliun. Akan banyak sektor yang harus dikorbankan demi menambal APBNP 2012, seperti pembangunan infrastruktur dan sebagainya. Artinya Indonesia tetap jalan di tempat sebagai Negara dengan infrastruktur terbelakang.
Akhir kata, penulis menantang Presiden SBY dalam mengambil keputusan terkait dengan harga BBM bersubsidi. Ya atau tidak. Kebijakan apapun yang diambil punya konsekuensi yang sama berat. Selamat berpikir dan segera ambil putusan, Presiden SBY. Salam.
*) Agus Pambagio adalah pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen.
(vit/vit)