JJ Rizal: Birokrasi Mandor Kawat, Tantangan Gubernur DKI

JJ Rizal: Birokrasi Mandor Kawat, Tantangan Gubernur DKI

- detikNews
Kamis, 22 Mar 2012 10:11 WIB
Jakarta - Bakal calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta menunggu kepastian akankah maju ke tahap selanjutnya pilkada DKI. Bagi gubernur dan wakilnya yang terpilih ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah birokrasi mandor kawat.

"Hambatan pertama dan terbesar menghadapi premanisme politik dan aristrokasi uang. Kota Jakarta itu kota yang tarik-menarik kepentingannya sangat kuat. Dan jika mereka berhasil melewati itu tantangan selanjutnya birokrasi yang dekaden. Orang Betawi bilang birokrasi mandor kawat, kerja kendor main dan korupnya kuat," terang peneliti sejarah Betawi, JJ Rizal.

Berikut ini wawancara detikcom dengan akademisi dari Universitas Indonesia ini, Rabu (21/3/2012):

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fenomena majunya calon gubernur dari luar daerah?

Secara konsep kulturalnya itu merupakan hal yang lumrah. Jakarta kan terkenal sebagai tempat mengadu nasib. Orang seperti Jokowi, Ahok, dan Alex Nurdin ini memperlihatkan kita bagaimana orang-orang yang tempatnya jauh dari Jakarta itu datang ke sini dan bukan tidak mungkin mereka berhasil. Karena kenyataannya gubernur yang berhasil dan sampai sekarang tercatat dalam sejarah sebagai Gubernur DKI Jakarta yang tersukses itu Ali Sadikin. Bang Ali ini dari antah berantah juga yang dipanggil Soekarno, bukan dari Jakarta.

Jadi ada sejarahnya dari luar bisa berhasil?

Secara historis dan kultural ada. Secara kultural tadi ada impian mengadu nasib. Kemudian mereka pastinya sudah berusaha keras untuk mengetahui apa sebenarnya Jakarta itu. Kita bisa melihat dari program yang mereka usung kelihatan sekali bahwa memang kematangannya terhadap persoalan yang ada di Jakarta dan tidak melulu dikuasai orang yang lama berada di Jakarta. Seperti kemiskinan yang ditemukan di balik gedung-gedung tinggi, premanisme politik, premanisme aristrokasi uang, dan bencana ekologi.

Ada sentimen primordial yang dimainkan pasangan Foke-Nachrowi ?

Sebenarnya unsur sentimen itu selalu dimainkan dalam peristiwa politik. Karena dalam peristiwa politik hampir semua senjata digunakan untuk melakukan pemenangan pertarungan. Dan harus diingat sentimen yang dimainkan itu bukan hanya etnik. Dalam pemilukada lalu selain sentimen etnik, sentimen agama juga dimainkan PKS.

Nah Ahok itu sebenarnya bisa membawa sentimen ke-tionghoa-annya dia, Alex juga membawa sentimen etniknya dia sebagai wong sabrang, dan Jokowi dengan ke-jawa-annya. Sentimen Betawi dimainkan oleh Foke karena Betawi itu etnis terbesar kedua di Jakarta setelah Jawa. Dan ini mungkin belum disadari oleh Jokowi, sehingga dia tidak memainkan sentimennya dia sebagai seorang Jawa.

Signifikansi bagi Foke memainkan sentimen ini?

Dalam hasil penelitian sejumlah lembaga survei, yang memenangkan Foke pada pilkada lalu itu berasal dari kantong suara Betawi. Itu kantong suara tradisionalnya Foke. Tidak perlu dikelola, seperti panggilan alam mereka memilih Foke. Hampir sama seperti di semua daerah yang menginginkan putra daerahnya menjabat sebagai kepala daerah.

Nah, sejak tahun 1970-an mulai muncul dorongan bahwa orang Betawi harus memimpin. Namun pada masa Orba nama gubernur itu harus dengan direstui keluarga Presiden. Karena itu mereka menanggung beban historis yang lama sekali untuk bisa menggolkan putra daerah menjadi pemimpin.

Apalagi sekarang ada Nachrowi. Ini seperti penyempurnaan mimpi historiknya kaum Betawi. Karena ketua dan wakilnya dua-duanya Betawi. Sehingga sentimen etniknya begitu kuat. Walaupun konyolnya, tidak ada koherensinya terpilihnya orang Betawi dengan perbaikan nasib orang Betawi.

Tidak ada koherensi?

Secara rekam jejak apakah selama ini ada koherensi. Belum tentu ada dampaknya jika orang Betawi yang naik akan ada perbaikan bagi nasib orang Betawi. Basis konstituen cenderung dilupakan setelah habisnya pemilukada.

Tapi ini tidak bisa dinilai secara rasional karena ada faktor kultural dan historis tersebut. Mereka sudah cukup merasa terpuaskan jika ada orang Betawi yang memimpin. Ada istilah Jawa pejah gesang nderek kiai (mati hidup ikut kiai) begitu pun orang Betawi pada Gubernur Betawi.

Menurut saya penggunaan sentimen etnis yang berlebihan harus direm oleh Foke. Ia harus ingat Jakarta merupakan kota yang kosmopolit yang kompleks. Bukan hanya lokal. Tapi nasional dan internasional. Ia harus melompati lingkaran etnisitasnya.

Permasalahan apa yang akan dihadapi gubernur DKI Jakarta?

Hambatan pertama dan terbesar menghadapi premanisme politik dan aristrokasi uang. Kota Jakarta itu kota yang tarik-menarik kepentingannya sangat kuat. Dan jika mereka berhasil melewati itu tantangan selanjutnya birokrasi yang dekaden. Orang Betawi bilang birokrasi mandor kawat, kerja kendor main dan korupnya kuat.

Di Solo Jokowi mampu menyelesaikan soal PKL tidak menggusur? Bagaimana jika seandainya ia memenangkan pemilukada ini ?

Jokowi mampu menegosiasikan keputusannya dengan tegas terkait kebijakan PKL itu. Tapi sekali lagi Jakarta itu dari ukuran kependudukan dan tarik-menarik kepentingan jauh lebih kuat daripada Solo. Misalnya dalam konteks PKL berapa banyak unsur yang memiliki kepentingan. Ada polisi, preman, pemerintah, kelurahan, tentara. Banyak sekali.

Bagaimana analisis untuk pertarungan? Satu putaran cukup?Β 

Untuk satu putaran sepertinya berat. Putaran kedua masih sulit untuk diprediksi.

(vit/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads