"Kami menemukan beberapa persoalan mendasar pada putusan hakim PTUN yang mengabulkan gugatan aturan pengetatan pembebasan bersyarat untuk koruptor," kata Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Alvon Kurnia Palma.
Alvon menyampaikan hal tersebut dalam acara rilis media Persoalan Putusan PTUN Pengetatan Remisi dan Pembebasan Bersyarat Untuk Koruptor di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jl Diponegoro, Jakarta, Senin (12/3/2012).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada paparan hasil kajiannya, Koalisi Masyarakat Sipil diwakili oleh Direktur YLBHI Alvon Kurnia Palma, Koordinator MTI Jamil Mubarok, Koordinator Div. Hukum ICW Febri Diansyah, dan Peneliti ILR, Refki Saputra. Beberapa kelemahan putusan hakim menurut Koalisi Masyarakat Sipil diantaranya:
1. Hakim tidak berwenang memeriksa perkara ini karena bukan objek tata usaha negara. SK pembebasan bersyarat dari Kemenkum HAM dinilai belum final dan masih dapat diperbaiki. Sehingga SK tersebut seharusnya tidak dapat diajukan ke PTUN.
2. Hakim tidak cermat dan tidak mampu mengklasifikasikan perbedaan mendasar dari para penggugat. Dari tujuh penggugat, tiga orang diantaranya bisa diklasifikasikan pembebasan bersyaratnya belum dilaksanakan. Karena tanggal pembebasan bersyaratnya sebelum tanggal dikeluarkannya SK pengetatan remisi pada 16 Nopember 2011. Sedangkan empat penggugat lainnya masih belum jatuh tempo pembebasan bersyaratnya. Sehingga seharusnya belum merasa dirugikan dan tidak seharusnya melakukan gugatan.
3. Mengacu pada poin 2, Seharusnya hakim menerbitkan putusan sela dan menyatakan tidak menerima gugatan sebagian penggugat.
4. Hakim salah menerapkan hukum. Hakim menggunakan pasal 24 ayat (1), (4) dan pasal 25 ayat (2) Permenkumham M.01 tahun 2007. Padahal pasal tersebut hanya bisa diterapkan jika pembebasan bersyarat sudah dilakukan, yaitu jika terpidana sudah di luar lapas. Dalam kasus ini pembebasan bersyarat belum dilakukan.
5. Hakim menggunakan aturan lama tanpa menyebutkan perubahan aturan tersebut. Peraturan yang dimaksud adalah Permen Hukum dan HAM No. M.01.PK.04-10 tahun 2007. Padahal Permen tersebut sudah diganti dengan No. M.HH-02.PK.05.06 tahun 2010.
6. Hakim tidak mampu membedakan antara Hak Asasi Manusia (HAM) yang diatur dalam UUD 1945. HAM merupakan hak kodrati dan bukan pemberian siapa-siapa. Sedangkan hak narapidana adalah hak yang diberikan oleh negara.
7. Hakim tidak mempertimbangkan aspek pemberantasan korupsi sebagai salah satu pertimbangan substansial.
8. Hakim mengesampingkan keterangan ahli dengan alasan ada pertentangan antara keterangan ahli dari pihak penggugat dan tergugat.
(trq/riz)