Utang negara tersebut atas nama Artip, warga asli Desa Guradog, Kecamatan Curug Bitung, Kabupaten Lebak, Banten. Kala itu, negara sedang mengalami krisis keuangan. Maklum, baru satu tahun merdeka. Merasa wajib membantu negara, Artip pun menitipkan uangnya kepada pegawai bank yang mendatangi rumahnya. Tiga kali dia menyerahkan uang Rp 100, sehingga total uang yang disetor sebesar Rp 300.
Bukti penyerahan uang diberikan dalam bentuk surat utang. Saudagar itupun menerima tiga lembar surat utang dengan nilai masing-masing Rp 100,. Dia dijanjikan akan memperoleh bunga 4 persen per tahun. Pada masa itu, Rp 300 bukan uang yang sedikit. Waktu itu uang Rp 300 bisa untuk membeli 150 gram emas, atau sejumlah kerbau.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas pada 2008, keenamnya anaknya menggugat Kementrian Keuangan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) untuk membayar utang Rp 300 yang diselaraskan dengan harga saat ini menjadi senilai Rp 1,18 miliar. Ditambah kerugian immateril Rp 10 miliar. Nilai tersebut dihitung berdasarkan harga emas saat ini, ditambah akumulasi bunga 4 persen per bulan selama 66 tahun.
Lantas, setelah berita tersebut menghilang di PN Jakpus, Mahkamah Agung (MA) memutuskan permohonan kasasi yang diajukan ahli waris. "Memutuskan perkara tersebut," kata ketua majelis hakim, Abdul Manan seperti detikcom kutip dari website resmi MA, Senin (12/3/2012).
Selain diputus oleh Abdul Manan juga diputus oleh hakim agung Dirwoto dan Abdul Gani Abdullah. Putusan yang bernomor 1734 K/PDT/2011 tidak dijelaskan diputus kapan dan apa bunyi putusannya. Saat detikcom berusaha mengkonfirmasi kepada Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansur, dirinya belum merespon.
(asp/dru)