Dibawah kepemimpinan Subekti pada 1968-1974, persidangan masih diselenggarakan terbuka untuk umum. Yaitu dengan para hakim mengenakan toga dan para pengacara diizinkan hadir. Praktek ini dilakukan secara pilih-pilih, hanya kasus-kasus menarik, saat Ketua MA Seno Adji. Praktek ini lalu dihentikan pada masa Ketua MA Mudjono pada 1981, ketika banyak hakim menganggap hal itu (pembacaan putusan untuk umum) mustahil dilakukan.
"Tata letak arsitektural Gedung MA tidak memungkinkan bagi semua tim membacakan vonis mereka di sebuah ruang sidang resmi," tulis Sebastian Pompe pada halaman 449 buku 'Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung' seperti dikutip detikcom, Kamis (8/3/2012).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Peristiwa itu dilambangkan terbuka untuk umum sebagaimana ditetapkan UU dengan membuka pintu yang terbuka yang menghadap ke koridor. Jadilah pengumuman itu nyaris bukan urusan yang luar biasa," tulis peneliti yang biasa dipanggil 'Bas' ini
Para hakim tidak mengenakan toga, hanya duduk mengitari meja dan memeriksa perkara, mengumumkan putusan mereka. Sifat ritualistik dan sangat rapi proses itu terutama terkesan jelas dari kenyataan bahwa para pihak tidak dipanggil untuk mendengarkan putusan.
"Walaupun terdapat saluran tidak resmi yang dipakai MA untuk memberi tahu pengacara tentang perkembangan perkara mereka, pihak berperkara baru tahu secara resmi bahwa MA sudah memutus perkara ketika putusan diserahkan oleh Pengadilan Negeri setelah putusan dikirim ke bawah dari pengadilan tinggi," kata Pompe.
Lalu apakah pembacaan putusan di ruang Ketua Tim ini bisa dihadiri pihak luar? Sepanjang catatan detikcom hingga hari ini, pengumuman itu tidak bisa diikuti oleh orang luar.
Buku ini merupakan kajian Pompe yang dipresentasikan di luar negeri pada 1996. Lantas kajian tersebut hadir dalam buku berbahasa Inggris pada 2005 yang beredar di berbagai negara dan menjadi referensi utama dalam mengkaji hukum di Indonesia. Bulan Februari 2012 Lembaga Kajian & Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) menerbitkan buku setebal 698 tersebut dalam bahasa Indonesia.
"Rangkaian fakta dan analisis dalam buku ini tentu akan menjadi bahan perdebatan bagi para pemerhati dan praktisi hukum dan peradilan," tulis LeIP dalam lembaran kata pengantar.
(asp/nwk)