"Sudah ada putusan MA. Ini bisa jadi yurisprudensi. Polisi harus memakai yurisprudensi ini," kata pengamat hukum pidana Universitas Islam Indonesia, (UII) Yogyakarta, Dr Mudzakkir, Selasa (24/1/2012). Yurisprudensi adalah putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh para hakim atau badan peradilan lain dalam memutus perkara atau kasus yang sama.
Yurisprudensi yang dimaksud Mudzakkir terkait kecelakaan maut Metro Mini nopol B 7821VM pada 6 Maret 1994 silam. Saat itu, angkutan umum yang diisi 45 orang terjun ke Kali Sunter dan mengakibatkan 32 orang tewas. Penumpang meninggal dunia karena pintu Metro Mini tertutup sehingga air sungai yang hitam pekat meregang nyawa para penumpang secara perlahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jaksa waktu itu tidak mau menggunakan pasal 359 KUHP karena ancaman hukumannya cuma 5 tahun. Tapi dikenakan pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. Penggunaan pasal ini dikabulkan oleh hakim hingga tingkat MA," jelas Mudzakkir. Hukuman maksimal pasal 338 adalah 15 tahun penjara.
Putusan hakim kala itu membuat geger dunia peradilan. Banyak yang pro dan kontra. Namun MA bergeming. 'Sopir maut' tetap dihukum dengan pasal pembunuhan. "Dan penggunaan pasal ini lebih adil. Waktu itu saya termasuk yang mendukung sopir dikenakan pasal pembunuhan," terang Mudzakkir.
Yurisprudensi MA ini juga bisa diterapkan kepada semua sopir yang ugal-ugalan di jalan. Seperti kecelakaan bus Sumber Kencono jurusan Surabaya-Yogyakarta yang kerap memakan korban nyawa.
Namun lagi-lagi ini berpulang bagaimana polisi dan jaksa mengkreasi hukum untuk menjerat Afriyani Susanti. "Jaksanya harus kreatif. Jaksa jangan hanya melihat perbuatannya saja. Tapi juga harus melihat siapa pelakunya dan siapa korbannya. Teori perbuatan itu sudah kuno. Sekarang hukum pidana juga harus melihat siapa pelaku kejahatan. Dan terakhir bagaimana korban kejahatan ini," ungkap Mudzakkir menyudahi.
(asp/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini