Suatu hal yang hampir mustahil bisa dilakukan oleh manusia tanpa perlengkapan apapun. Dengan ketinggian di atas 30 ribu kaki, suhu -30 derajat Celcius, kebisingan 120 desible (db) dan tekanan udara hanya 100 mbs (tekanan udara normal di darat 1.013 metric bars/mb) manusia umumnya akan mati lemas dan terjatuh ketika landing gear diturunkan, tapi Mario bertahan. Jadi bisa dibayangkan, bagaimana kondisi Mario selama sekitar 80 menit tersebut. Nyatanya Mario selamat, meskipun telinganya mengeluarkan darah.
Pertanyaannya, apa motif dan tujuan Mario 'Superman' Ambarita ini masuk ke lubang landing gears? Mario bukan pemuda biasa karena lulusan STM ini mempelajarinya dengan seksama di internet, di lapangan dan juga sudah diujicobakan beberapa kali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengapa Mario Bisa Terbang Gratis?
Untuk menganalisa lolosnya Mario ke daerah steril penerbangan (restricted area) di Bandara SSK II, perlu langkah holistik. Melalui tulisan ini, saya ingin berandai-andai bahwa saya adalah General Manager (GM) Bandara SSK II atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) DJU Kemehub dengan menggunakan panduan UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan Annex 17 sebagai pijakan saya melakukan penyelidikan, termasuk olah tempat kejadian perkara (TKP). Sekali lagi, wanna be.
Pertama, andaikan saya sebagai GM SKK II, maka sayalah orang yang paling bertanggungjawab adanya penyusup model Mario di landasan pacu. Atas peristiwa tersebut, saya rela mendapatkan hukuman administratif dari Direksi PT Angkasa Pura II (AP II), seperti pembebasan tugas. Meskipun saya baru beberapa hari dilantik menjadi GM SSK II oleh Direksi PT AP II dan belum sempat berkantor resmi di SSK II.
Kedua, andaikan saya PPNS, saya akan melakukan pemeriksaan kesehatan Mario untuk memastikan bahwa Mario sehat rohani dan jasmani. Kemudian saya juga akan berkoordinasi dengan Aviation Security (Avsec) Bandara SKK II, Mapolda Riau, Badan Nasional Penangulangan Terorisme (BNPT) dan TNI AU mengingat Bandara SKK II merupakan bandara enclave sipil (bandara militer tetapi digunakan juga untuk penerbangan sipil) untuk memastikan bahwa tindakan Mario tidak mengarah pada tindak terorisme (misalnya sabotase bunuh diri), mengingat Mario menyusup tanpa identitas.
Sebagai PPNS saya juga akan mencari tahu dari mana Mario bisa masuk dan bersembunyi di ujung landasan. Apakah masuk dari wilayah pangkalan TNI AU atau dari wilayah bandara. Dari olah perkara di SSK II minggu lalu, Mario patut diduga menyusup dari ujung landasan sebelah kanan terminal yang berbatas dengan Pangkalan TNI AU.
Ketiga, karena pada saat turun, setelah pesawat block on di apron, Mario tidak membawa identitas dan ini sangat berbahaya dan bisa mengarah ke tindakan terorisme. Bayangkan jika Mario anggota teroris yang membawa bahan peledak di badannya. Tentu pihak PPNS harus bekerja sama dengan Kepolisian dan BNPT untuk menyelidiki lebih jauh siapa Mario ini dan apa motifnya. Tidak mungkin hanya sekedar ingin ke Jakarta. Harus dipelajari sepak terjangnya 2 tahun ke belakang.
Penyusupan seperti ini bisa terjadi kapan saja dan di bandara mana saja, baik yang dikelola oleh PT Angkasa Pura maupun Unit Pelaksana Teknis Kemenhub. Salah satu persoalannya karena Avsec di Bandara tidak mempunyai gigi untuk bisa ambil tindakan hukum karena memang tidak mempunyai kewenangan untuk itu. Itulah andai-andai saya.
Pelajaran yang Dapat Diambil
Keamanan bandara kita mutlak perlu segera diperbaiki. Bentuk dan kewenangan Avsec yang ada sekarang lemah karena mereka adalah pegawai pengelola bandara bukan aparat keamanan yang terdiri dari Kepolisian dan atau TNI yang terlatih dan berbadan tegap-tidak kurus-kurang vitamin atau perut buncit seperti yang terlihat di bandara-bandara Indonesia.
Di beberapa negara, seperti Kanada, kerja sama antara Canadian Air Transport Security Authority (CATSA), the Canadian Security Intelligence Service, the Royal Canadian Mounted Police (RCMP) and Transport Canada mengeluarkan Restricted Area Identity Card (RAIC). Dalam pelaksanaan Avsec, CATSA memberikan kewenangannya ke pihak ketiga, seperti G4S atau Securitas atau Garda tergantung lokasi bandaranya.
Di Singapura, AVSEC di bawah Kepolisian yaitu Airport Police Division. Di Prancis, Avsec dilakukan oleh pihak swasta yang direkrut oleh Pengelola Bandara. Semula di bawah tanggungjawab Kepolisian (Gendarmerie de l'Air). Sedangkan di Belanda, Avsec dikelola oleh Koninklijke Merechaussee (KMAr), Tentara Kerajaan Belanda.
Jika Avsec bandara di Indonesia masih seperti sekarang, jangan harap tidak ada lagi Mario-Mario lain atau tidak ada kendaraan bermotor dan binatang piaraan yang lalu lalang di daerah restricted bandara bahkan di dekat landasan pacu. Atau tidak ada penjemput penjahat narkoba bisa masuk hingga ke pintu pesawat atau tidak ada penumpang mengamuk merusak fasilitas bandara dan masuk ke apron karena pesawat delay dan sebagainya.
Sudah saatnya Kemenhub mengeluarkan Peraturan Menteri terkait dengan organisasi dan kewenangan Avsec sesuai dengan UU No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan, Annex 17 dan UU lain yang terkait dengan keamanan obyek vital karena bandara adalah obyek vital. Avsec harus professional, terlatih mengendalikan masa demi keselamatan publik dan bandara serta bisa melakukan penyidikan atau penangkapan.
Salam.
*) Agus Pambagio adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen.
(nwk/nwk)