Serta apakah “kemerdekaan” Aceh sudah diambang pintu, apalagi tempat pengibaran bendera bulan bintang konon juga sudah dibuat disamping tempat pengibaran bendera Merah Putih di halaman DPR Aceh. Atau, apakah perlu diterapkan darurat militer di Aceh jika perkembangannya dirasa Aceh “masih melawan” Pusat?
Menurut catatan penulis, pada 5 Desember 2013, mahasiswa yang tergabung dalam Koordinator Wilayah (Korwil) V Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Aceh, berunjukrasa di Bundaran Simpang Lima, Kota Banda Aceh. Dalam unjukrasa tersebut, mahasiswa mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menunda pengukuhan Wali Nanggroe karena dinilai masih terjadi pertentangan diantara masyarakat Aceh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara di Kabupaten Aceh Tenggara, sosialisasi Wali Nanggroe yang digelar oleh Majelis Adat Aceh (MAA) bekerjasama dengan Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Tenggara dihentikan paksa oleh Komite Persiapan Pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara (KP3ALA) Aceh Tenggara. Sejumlah anggota KP3ALA yang juga mantan anggota Pembela Tanah Air (PETA) meminta panitia tidak melanjutkan sosialisasi Wali Nanggroe karena masyarakat Aceh Tenggara tidak mengakui adanya
Wali Nanggroe.
Tidak hanya itu saja, warga Aceh mengkhawatirkan, pro dan kontra tentang Qanun Wali Nanggroe yang akan segera disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), akan mengarah ke konflik antara sesama masyarakat Aceh. Terlebih, DPRA langsung menetapkan Mantan Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe Aceh.
Warga di Banda Aceh, Senin (9/12) menyebutkan, hingga saat ini, meskipun Qanun Wali Nanggroe sudah disahkan dan sedang dilakukan revisi oleh DPRA setelah diklarifikasi oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), namun masih banyak warga Aceh yang menolak Qanun tersebut.
“Masyarakat Gayo masih menentang keberadaan Qanun Wali Nanggroe, hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Aceh Barat, sementara dari pesisir timur, banyak yang mendukung, jika kedua belah pihak bertemu, kami khawatir akan terjadi konflik fisik,” ungkap Bahagia, salah seorang warga Kuta Alam, Banda Aceh.
Figur Malik Mahmud Sebagai Sentral Pro Kontra
Masalah pro dan kontra pembentukan Wali Nanggroe tampaknya mulai terfokus pada pribadi Malik Mahmud yang dirancang untuk menduduki jabatan tersebut. Suasana tersebut antara lain nampak dari sikap seorang mantan kombatan GAM yang mengatakan, pemilihan Malik Mahmud sebagai calon Wali Nanggroe merupakan kesalahan kelompok KPA/Partai Aceh, karena pada awal pembentukan GAM nama Malik Mahmud tidak masuk dalam struktur petinggi GAM. Eks petempur GAM ini mengharapkan adanya pelurusan proses untuk membatalkan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe.
Hal senada juga dikemukakan eks kombatan GAM lainnya yang tidak mau disebutkan namanya kepada pers dengan menyatakan kekecewaannya terhadap kepemimpinan GAM saat ini, karena selama 2 periode kepemimpinan setelah penandatangan MoU Helsinki semua tokoh-tokoh GAM berubah menjadi manusia-manusia tidak mempedulikan kepentingan masyarakat Aceh. Sehingga eks kombatan GAM itu mendukung artikel yang pernah ditulis alumnus Kajian Strategik Intelijen (KSI), UI beberapa waktu lalu berjudul “Dapatkah Eks GAM dipercaya memimpin Aceh?”.
Terlepas diakui atau tidak oleh para pendukung pembentukan lembaga Wali Nanggroe, sebenarnya secara mayoritas masyarakat di Aceh tidak memerlukan Wali Nanggroe. Saat ini yang sangat diperlukan masyarakat adalah pembangunan ekonomi secara menyeluruh dan merata, serta terjaganya perdamaian di Aceh.
Mereka mengkhawatirkan dengan dilantiknya Wali Nanggroe, maka tidak lama lagi akan diterapkan “darurat militer” kembali di Aceh. Menurut salah seorang tokoh masyarakat Calang di Aceh Jaya kepada penulis menyatakan dirinya tidak mendukung Malik Mahmud dilantik sebagai Wali Nanggroe dan akan mendorong semua lapisan masyarakat Aceh Jaya, agar tidak menerima atau membuat mosi penolakan secara masal.
Sedangkan dukungan terhadap keberadaan lembaga Wali Nanggroe pada umumnya disuarakan oleh para anggota atau simpatisan KPA atau Partai Aceh. Seperti yang dikemukakan salah satu tokoh KPA Aceh Jaya yang tercatat sebagai caleg pada Pemilu 2014 mendatang dengan menyatakan tetap berkomitmen berada di pihak Partai Aceh (PA), dan siapapun yang menjadi Wali Nanggroe tetap perlu didukung, karena Wali Nanggroe telah diatur dalam MoU dan UUPA.
Gerakan menentang pembentukan Wali Nanggroe nampaknya cukup berkembang, sementara itu upaya pembentukan Wali Nanggroe juga tidak bisa dihentikan, karena mantan pendukung GAM berdalih lembaga itu disebut dalam MoU Helsinki dan UU Pemerintahan Aceh.
Perkembangan kondisi ini apabila tidak terkendali justru menjadi sumber ketegangan politik dan keamanan yang baru bagi daerah Aceh, karena kemungkinan besar kekuatan anti pembentukan Wali Naggroe dikembangkan sebagai Lembaga Non-Pemrerintah semacam LSM yang mengawasi tingkah laku Wali Nanggroe atau Wali Nanggroe Watch, agar tidak menjadi alat terus hidupnya separatisme di Aceh.
*) Toni Sudibyo penulis adalah alumnus Fisip Universitas Jember dan alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia.
(nwk/nwk)