Seperti dilansir website Mahkamah Agung (MA) Senin, (3/6/2013) kasus ini bermula saat sebuah koran nasional menurunkan laporan investigasi berjudul 'Menelusuri Aliran Dana di PT Jamsostek' yang terbit pada 11 April 2002. Dalam berita tersebut, Indro menyebut 'Djunaidi dan Andy itu melanjutkan pola KKN...'. Atas tulisan ini, Jamsostek merasa nama baiknya tercemar.
"Pemuatan komentar atau ungkapan melalui berita tersebut di atas menimbulkan kesan dan kesimpulan yang menyesatkan bagi masyarakat Indonesia," papar Jamsostek dalam berkas gugatannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indro menyangkal semua gugatan itu. Menurut Indro, pernyatannya ditujukan kepada person atau perorangan yang terindikasi berbuat curang, bukan kepada perusahaan. Kesalahan gugatan lainnya, menurut Indro, alamat dirinya bukan di Jalan Gatot Subroto, tetapi di Komplek Depsos, Jakarta Selatan.
Selain itu, Jamsostek juga dinilai dalam gugatannya kurang pihak. Sebab dalam hasil investigasi itu, pihak yang turut serta menyumbangkan pikirannya sehingga terbitlah tulisan tersebut tidak turut digugat.
Atas gugatan ini, PN Jaksel mengadili Indro telah melakukan perbuatan melawan hukum. Oleh sebab itu, dalam putusan tertanggal 9 Januari 2003 itu, PN Jaksel menghukum Indro membayar ganti rugi Rp 100 juta.
Namun pada 8 Maret 2011 Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta membatalkan putusan tersebut. PT Jakarta menilai gugatan Jamsostek tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verland).
Atas vonis ini, Jamsostek lalu mengajukan kasasi 4 bulan sesudahnya. Pada 31 Juli 2010, MA menolak permohonan kasasi tersebut dalam perkara nomor 295 K/Pdt/2012.
"PT Jamsostek tidak mempunyai kewenangan untuk mengajukan gugatan berdasarkan pencemaran nama baik karena perbuatan Tergugat yang oleh Penggugat didalilkan sebagai pencemaran nama baik ditujukan kepada Djunaidi dan Andi secara pribadi, bukan sebagai PT Jamsostek (Persero) selaku badan hukum," putus majelis kasasi yang diketuai oleh hakim agung Suwardi dengan anggota Dr Muchtar Zamzami dan Djafni Djamal.
(asp/nrl)