"Ada gelagat seperti itu sejak Pilpres 2004. Capres yang didukung oleh parpol yang cuma meraih 7 persen memenangkan pilpres 2004. Sementara capres yang didukung oleh partai gajah yang meraih suara 20 persen malah bukan hanya tidak menang, melainkan jauh di bawah perolehan partainya," kata Ketua DPP Golkar, Hadjrianto Y Tohari, kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (16/7/2012).
Menurut Hadjri, Pilpres 2014 bukan lagi pertarungan ideologi parpol. Kekuatan Parpol di Pileg bisa jadi sama sekali tak menjamin kemenangan capres.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alhasil, program-programnya hanyalah aksesori belaka. Persis dengan hampir semua UU yang dibuat di Indonesia.
"Semua mencantumkan UUD 1945 dalam konsiderannya, semuanya dikatakan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa, tetapi itu hanya formalitas belaka! Sementara isi UU-nya bisa saja sangat jauh dari niai-nilai Pancasila dan konstitusi,"lanjutnya.
Menurut Hadjri, dalam Pilpres, jangankan pertarungan ideologi, bahkan paradigma partai politik pengusungnya saja seringkali tidak tercermin dalam figur pasangan capres dan cawapresnya. Partai Islam bisa mengusung capres partai nasionalis yang tidak berdasar agama.
"Dalam satu hal kecenderungan ini positif karena menunjukkan tuntasnya Pancasila sebagai dasat negara dan falsafah bangsa. Tetapi dari aspek lain ada negatifnya, yaitu terjebak dalam "ideologi" pragmatisme yang kering nilai dan cita-cita luhur. Akhirnya perpolitikan nasional terjebak dalam pragmatisme yang materialistis. Mungkin ketiadaan nilai-niai ideologis inilah yang mengakibatkan maraknya perilaku koruptif di kalangan politisi, pejabat negara, dan pemerintahan,"tegas Hadjri.
Demikian juga dengan tuntutan atau desakan terhadap regenerasi kepemimpinan nasional, menurut Hadjri, sebenarnya juga tidak berdasarkan pemikiran yang positif. Melainkan lebih karena hanya bertolak dari kejenuhan dan kekecewaan terhadap generasi tua.
"Karena kejenuhan atau bahkan kekesalan kepada yg tua maka muncullah gelombang tuntutan regenerasi. Tetapi generasi baru yang seperti apa mereka juga tidak tahu. Pokoknya yang penting ada regenerasi karena kecewa pada yang tua-tua. Tetapi begitu melihat fakta generasi muda yang masih belia pun ternyata tidak kurang koruptifnya, akhirnya bingung juga. Tua-muda akhirnya sama saja: sama-sama bermasalah dan koruptif,"pungkasnya.
(van/mpr)