Agung menjelaskan LGBT bukan penyakit biologis. LGBT merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh faktor psikologis, pergaulan atau sosial. Sebagai praktisi dirinya mengkategorikan LGBT sebagai Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Bahkan hasil penelitian di luar negeri mendapatkan fakta dalam pratik kehidupan sosial, kelompok ini rentan melakukan penyalahgunaan zat adiktif.
"Mempunyai risiko peningkatan mengalami atau mencoba bunuh diri," ujar Agung dalam persidangan LGBT yang digelar di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (16/11/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dampak dari seringnya melakukan kegiatan seksual sesama jenis dapat menyebabkan infeksi penyakit seks yang bisa mematikan yaitu kanker dubur. Berdasarkan penelitian terbaru ditemukan peningkatan kanker dubur sekitar 1-3 persen. Kanker dubur ditemukan sekitar 70 sampai 80 persen dari kasus-kasus yang berhubungan dengan dubur. Sementara kaum lesbian cenderung menderita kanker payudara," papar Agung.
Agung menjelaskan dalam kacamata hukum, kesehatan jiwa upaya preventif untuk mencegah sakit. Dalam dunia kesehatan pihaknya juga melihat aspek spiritual dan sosial serta etika.
"Derajat kesehatan yang optimal adalah sehat fisik, mental, spritual dan sosial. Tata laksana yang komprehensif serta mengacu pada biogenetika kedokteran. Kami mendukung permohonan judical review sebagai bagian dari sinergistas dengan upaya prefentif menuju bangsa yang sehat dan jiwa," bebernya.
Sementara guru besar UIN Prof Dr Syarif Hidayatullah Abdul Mujib selaku ahli psikologi menjelaskan dampak yang ditimbulkan oleh kelompok LGBT. Seperti telah banyak dan secara terang-terangan orang yang mengakui dirinya homoseksual.
"Jika masih ada kata wanita dalam pasal 285 KUHP, selain tidak melindungi korban pria, juga melestarikan kaum gay yang membahayakan bangsa Indonesia. Kaum gay adalah kaum yang menyalahi fitrah asli seksual manusia," beber Abdul.
Abdul mengatakan selaku ahli dari MUI meminta untuk perluasan makna pada pasal 284, 285 dan 292. Seperti pada pasal 284 untuk menekankan akan arti peran dan tanggung jawab orang tua atau keluarga pada masalah anaknya, khususnya dalam perzinahan bukan hanya suami atau istri.
"Pasal 285 KUHP menghapus kata wanita, yang artinya memperluas makna korban pemerkosaan. Korban bukan hanya wanita tetapi juga pria. Sebab patut diduga pelaku pemerkosa boleh jadi sesama pria yang dilakukan oleh kaum gay yang orientasi seksualnya homoseksual. Lalu pada pasal 292 KUHP untuk memperluas makna kata orang dewasa, sebab jika batasan dewasa usia lebih dari 18 tahun menurut UU Perlindungan Anak bagaimana posisi pelaku yang belum usia tersebut. Sehinga perlu ada pengkajian ulang istilah dewasa dalam pasal 292 KUHP sebab jika tidak akan memberikan peluang luas pada pelaku pencabulan 18 tahun dengan dalih belum dewasa," pungkas Mujib.
Sidang ini merupakan sidang ke-14 yang digelar MK. Sidang itu dilaksanakan atas permohonan guru besar IPB Bogor Prof Dr Euis Sunarti dan 11 temannya terkait pengujian makna pasal asusila dalam KUHP. Sidang judicial review ini menjadi sidang terpanjang dalam sejarah MK. (edo/asp)