Dahnil mengatakan, ada dua penyebab gagalnya program tersebut. Pertama, program deradikalisasi itu mengalami 'kekaburan konsep'. Menurutnya, model program tersebut tidak komprehensif, karena upaya menangkal radikalisasi mulai dari hulu sampai hilir tidak dilakukan dengan serius.
"Konsep programnya selama ini tidak jelas, bahkan mendefenisikan kelompok radikal saja bisa mengalami kekaburan. Modalnya sekedar melakukan stereotype kepada kelompok tertentu dengan ciri-ciri tampilan fisik dan lan-lain. Model program yang tidak komprehensif menangkal radikalisasi mulai dari Hulu sampai hilir tidak dilakukan dengan serius," kata Dahnil kepada detikcom, Senin (14/11/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk itu, lanjut Dahnil, diperlukan program deradikalisasi yang didesain untuk jangka panjang. Program ini juga harus melibatkan lembaga negara lintas sektoral dan komunitas sosial keagamaan.
"Program ini harus dirancang komprehensif mulai mengatasi masalah hulu, misalnya kesenjangan ekonomi, ketidakadilan, ideologi radikal, dan juga potensi state terorism yang bahkan ini sering sulit diakui. Kemudian mengatasi masalah hilir, seperti mereka yang terlibat dengan kelompok teror yang sudah dihukum, diawasi dan dibina, dikembalikan kepada masyarakat dan melibatkan masyarakat agar ikut membina. Sehingga mereka merasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat itu sendiri," jelas Dahnil. (jor/bis)