Ia mengaku senang bila jalur kereta yang dibangun pada masa pendudukan Jepang itu aktif kembali. Sebab, mobilitas warga akan lebih mudah karena mendapatkan alternatif sarana transportasi. Tapi di wajahnya juga tergores kecemasan akan nasib keluarganya yang sudah berpuluh tahun menempati lahan milik PT Kereta Api Indonesia. "Kira-kira kami dapat ganti rugi atau diusir seperti warga Kampung Pulo di Jakarta?" si ibu kembali bertanya.
Jalur SaketiβBayah di Banten Selatan sepanjang 89 kilometer merupakan lintas cabang dari lintas Rangkasbitung-Labuan. Jalur ini sudah tidak aktif selama sekitar 60 tahun. Lahan maupun jalurnya sudah banyak yang rusak, beralih fungsi, dan ditempati menjadi permukiman warga. Bangunan Stasiun Saketi, misalnya, saat ini ditinggali dan dirawat oleh Mumu Mudjaya, menantu mantan Kepala Stasiun Saketi, Jasuri. Sedangkan di sepanjang jalur rel berdiri puluhan rumah warga dan pasar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Menurut mantan Ketua Indonesian Railway Preservation Society Aditya Dwi Laksana, yang memandu acara Napak Tilas, pembangunan jalur rel kereta sepanjang 89 kilometer dari Saketi ke Bayah dilakukan selama 14 bulan, yakni mulai Februari 1943 hingga Maret 1944. Puluhan ribu romusa yang didatangkan dari Purworejo, Kutoarjo, Purwodadi, Semarang, dan Yogyakarta dikerahkan untuk pembangunan proyek tersebut.
Jepang membangun jalur ini untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar kereta api dan kapal laut. Di Bayah terdapat lokasi tambang batu bara yang belum dieksplorasi oleh Belanda. Potensinya 20-30 juta ton dengan ketebalan 80 sentimeter. "Mulai 1 April 1943, Jepang mengeksploitasi tambang batu bara lewat perusahaan Sumitomo," ujarnya.
Bayah, yang memiliki luas sekitar 15 ribu hektare, menjadi satu-satunya tempat yang mengandung batu bara di Pulau Jawa sebelum Jepang datang. Sejak awal 1900, kolonial Belanda sebetulnya telah melelang izin pertambangan kepada pihak swasta. "Tapi, karena lokasi tambang di Gunung Mandur, Bayah terisolasi, butuh modal investasi sangat besar sehingga para pengusaha tak terlalu tertarik untuk mengeksploitasinya," kata Ade Purnama dari Komunitas Sahabat Museum, yang turut menjadi pemandu.
Hendry F. Isnaeni dalam buku Penyamaran Terakhir Tan Malaka di Banten menulis, pembangunan jalur Saketi-Bayah menjadi neraka tersendiri bagi para romusa. Banyak pekerja yang akhirnya meregang nyawa karena kelaparan, penyakit, juga tak tahan menghadapi siksaan dari militer Jepang. Tak aneh bila jalur tersebut ada yang menjulukinya sebagai "Jalur Maut" atau Death Railways.
![]() |
Sejarah menyedihkan pembuatan rel kereta api Saketi-Bayah juga terjadi pada pembuatan jalan kereta api sepanjang 220 kilometer yang menghubungkan Pekanbaru, Riau, dengan Muaro Sijunjung di Sumatera Barat. Neraka jahanam dan kuburan massal itu merenggut hidup para romusa dan tawanan perang Sekutu sejak ruas tersebut pertama kali dikerjakan pada 1943. Rel maut itu siap digunakan pasukan Dai Nippon untuk mendistribusikan batu bara dari pantai barat pulau itu ke pantai timurnya, untuk selanjutnya diseberangkan ke Singapura.
Pola serupa diterapkan saat membangun proyek kereta api terbesar di Asia Tenggara sepanjang 440 kilometer antara Nong Pla Duk di Thailand dan Thanbyuzayer di Burma (sekarang Myanmar) pada Juli 1942 hingga Oktober 1943. Di sana, dipekerjakan 55 ribu tawanan perang Sekutu dan lebih dari 100 ribu romusa dari Burma, Thailand, Melayu, India, dan Tiongkok. Khusus dari Jawa, yang diangkut pada Maret 1943, diperkirakan mencapai 15 ribu romusa.
Pada masanya, jalur rel kereta api Saketi-Bayah telah membuka daerah Bayah, yang semula amat terkucil itu menjadi magnet baru kehidupan. Di sepanjang rel terbentang kabel-kabel telegraf dan sebuah pusat pembangkit listrik. "Dalam Asia Raya terbitan 8 Juni 1943, diumumkan bahwa pertambangan batu bara Bayah membutuhkan 1.500 buruh," tulis Hendry. Ketika tambang itu mulai dieksploitasi, lanjut penulis yang lahir dan besar di Lebak itu, pekerjanya mencapai 20 ribu orang.
Saat tiba di Bayah, majalah detik bersama rombongan Napak Tilas, yang berjumlah 50 orang, tak melihat lagi sisa bangunan bekas stasiun di sana. Area stasiun telah berubah menjadi lapangan sepak bola dan sekolah dari tingkat dasar hingga menengah atas. Permukiman warga pun umumnya sudah dibangun permanen. Dari jarak sekitar 200 meter, debur ombak Samudra Hindia jelas terdengar dan terlihat putih bergulung-gulung.
![]() |
Di Malingping, pertengahan antara Saketi dan Bayah, pun kondisinya nyaris serupa. Yang tersisa di sana tinggal fondasi bekas peron stasiun dengan beberapa pohon kelapa tumbuh di sana. Sementara itu, sekeliling area bekas stasiun sudah sejak berpuluh tahun menjadi lahan persawahan.
Meski begitu, sejumlah tokoh masyarakat di sana menyampaikan harapan agar jalur kereta api Saketi-Bayah bisa diaktifkan kembali. Bukan sekadar untuk nostalgia, tapi memang bisa menjadi alternatif kendaraan yang lebih murah dan cepat ketimbang lewat jalan raya.
"Jadi, kalau bagi kami, sih, kunjungan Bapak-Ibu sekalian sebaiknya tidak sekadar napak tilas, tapi apa yang diperjuangkan setelah itu. Kami senang sekali bisa jalur ini bisa hidup lagi," kata Sekretaris Camat Bayah Ali Rachman.
Kepala Laboratorium Transportasi Universitas Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno, yang turut dalam rombongan Napak Tilas, menilai tuntutan semacam itu tidak berlebihan. Sebab, di dekat Pulau Manuk, Bayah, kini telah berdiri pabrik Semen Merah Putih, ada perkebunan sawit di jalur Saketi-Malingping, serta obyek wisata Sawarna sekitar 8 kilometer dari Bayah. "Reaktivasi jalur-jalur kereta api yang melintasi kawasan pedesaan seperti Saketi-Bayah ini pada gilirannya akan menghidupkan roda perekonomian di pedesaan," ujarnya.
![]() |
Selain jalur Saketi-Bayah, masih ada jalur lintas Rangkasbitung-Labuan sejauh 56 kilometer, yang menurut Djoko mendesak untuk diaktifkan kembali. Dulu di jalur ini, puluhan kilogram ikan dari Labuan diangkut menuju Stasiun Tanah Abang, yang berjarak 129 km. Dari Tanah Abang, kereta biasanya mengangkut garam untuk keperluan pembuatan ikan asin di Labuan. Labuan sebagai penghasil ikan dapat menjadi pemasok konsumsi ikan bagi warga Jakarta.
Di jalur Rangkasbitung-Labuan terdapat Stasiun Pandeglang, Saketi, dan Menes. Kondisi stasiun tersebut masih berwujud bangunan, meski tidak seutuh seperti dulu.
"Dengan diaktifkannya jalur ini, dapat diteruskan ke lintas cabang dari Saketi ke Bayah sejauh 89 km," kata Djoko.
Di samping itu, di dekatnya sudah dikembangkan kawasan industri dan pariwisata Tanjung Lesung yang cukup terkenal. Selain rencana membangun jalan tol dari ruas Jakarta-Merak, tidak ada salahnya dibangun pula jalan rel dari Labuan atau Menes.
Tersedianya jalan rel menuju Tanjung Lesung cukup mendukung distribusi barang dan pengembangan pariwisata di Provinsi Banten. Dengan mengaktifkan jalan rel, ada alternatif mobilitas bagi warga selain melalui jalan raya.
Hanya, dalam Rancangan Induk Perkeretaapian Nasional yang disusun Departemen Perhubungan pada 2011, tidak dicantumkan jalur Saketi-Bayah untuk diaktifkan kembali. Rancangan itu hanya mencantumkan 12 jalur kereta api mati yang akan diaktifkan kembali, yaitu jalur Sukabumi-Cianjur-Padalarang, Cicalengka-Jatinangor-Tanjungsari, Cirebon-Kadipaten, Banjar-Cijulang, Purwokerto-Wonosobo, Kedungjati-Ambarawa, Jombang-Babat-Tuban, Kalisat-Panarukan, Semarang-Demak-Juana-Rembang, Madiun-Slahung, Sidoarjo-Tulangan-Tarik, dan Kamal-Sumenep.
========
Tulisan selengkapnya bisa dibaca gratis di edisi terbaru Majalah Detik (Edisi 200, 28 September 2015). Edisi ini mengupas tuntas "Tragedi Mina Salah Siapa". Juga ikuti artikel lainnya yang tidak kalah menarik, seperti rubrik Nasional "Menuju Bursa DKI Satu", Internasional "Setelah PM Lee", Ekonomi "Rizal Vs Lino", Gaya Hidup "Hijab di Australia Lebih Longgar, Lebih Kasual", rubrik Seni Hiburan dan review Film "The Intern", serta masih banyak artikel menarik lainnya.
Untuk aplikasinya bisa di-download diΒ apps.detik.comΒ dan versi Pdf bisa di-download diΒ www.majalah.detik.com. Gratis, selamat menikmati!!
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini