MK Izinkan Pasutri Buat Perjanjian Kawin, Pemerintah Diminta Ubah UU No 1/1974

MK Izinkan Pasutri Buat Perjanjian Kawin, Pemerintah Diminta Ubah UU No 1/1974

Edward Febriyatri Kusuma - detikNews
Senin, 31 Okt 2016 09:17 WIB
Sidang MK (ari/detikcom)
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mengizinkan pasangan yang sudah menikah melakukan Perjanjian Kawin. Lonceng hukum itu harusnya ditindaklanjuti pemerintah dengan segera merevisi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

"Harusnya pemerintah melakukan amandemen UU Perkawinan. Merevisi dasar UU itu, kenapa? karena menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga. Ada di pembakuan peran dan ketimpangan relasi itu. Kalau itu tidak diubah dan beberapa pasal dimutilasi satu-satu, nggak akan berpengaruh, justru mungkin bisa merugikan perempuan," ujar komisioner Komnas Perempuan Siti Herawati saat dihubungi wartawan, Senin (31/10/2016).

Komnas Perempuan menilai putusan Mahakamah Konstitusi tentang perjanjian kawin tidak berpengaruh maksimal secara menyeluruh. Sebab permasalahan mendasar perempuan dalam ikatan perkawinan adalah dalam konsep UU Nomor 1/1974.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Iya, tapi kalau dasar perkawinan masih pembakuan peran, ada ketimpangan relasi. Enggak akan berpengaruh kepada pemenuhan hak konstitusi," ucap Siti.

Siti mengatakan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berakhir dengan perceraian, ketika pihak perempuan mengajukan gugatan cerai, para suami atau yang ketiga berupaya memanipulasi harta bersama.

"Dalam relasi yang timpang dalam UU Perkawinan, justru melegalisasi manipulasi tersebut. Perjanjian kawin merupakan pengaturan khusus yang diinginkan kedua pasangan selama relasi perkawinan sebagai relasi yang timpang. Maka perempuan dalam posisi yang rentan," beber Siti.

Siti mencontohkan ketika pasutri yang nikah tidak memiliki harta bawaan. Lalu dalam pernikahan kesejahteraan pasutri itu meningkat, sehingga keduanya melakukan perjanjian kawin.

"Karena ketimpangan relasi bisa aja malah istri yang dirugikan, sepanjang ketimpangan relasi itu terus terjadi. Jadi kesetaraan membuat perjanjian perkawinan malah enggak terpenuhi. Justru pasal pembakuan peran itulah yang menjadi sumber masalah," papat Siti.

Alhasil, seharusnya negara--pemerintah dan DPR-- segera merevisi UU Nomor 1 Tahun 1974.

"Iya (revisi) secara mendasar landasan perkawinan yaitu kesetaraan, bukan ketimpangan relasi," pungkas Siti.

Sebelumnya MK mengizinkan Perjanjian Kawin dibuat saat pasangan itu telah menjadi suami istri (pasutri). MK menilai hal itu untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan.

Perjanjian Kawin diatur dalam Pasal 29 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi:

'Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut'

MK menilai pasal di atas bertentangan dengan UUD 1945.

"Frase 'pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan' dalam Pasal 29 ayat (1) dan frasa 'selama perkawinan berlangsung' dalam Pasal 29 ayat (4) UU 1/1974 adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula selama dalam ikatan perkawinan," demikian putus majelis konstitusi.

Dalam pernikahan rumah tangga, selain hak dan kewajiban sebagai suami dan istri. Masalah harta benda juga merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan timbulnya berbagai perselisihan atau ketegangan dalam suatu perkawinan. Bahkan dapat menghilangkan kerukunan antara suami dan istri dalam kehidupan suatu keluarga.

Untuk menghindari hal tersebut maka dibuatlah perjanjian perkawinan antara calon suami dan istri, sebelum mereka melangsungkan perkawinan. MK pun menilai tujuan dari revisi pasal tersebut agar tidak terjadi ketimpangan.

1. Memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan pihak istri sehingga harta kekayaan mereka tidak bercampur. Oleh karena itu, jika suatu saat mereka bercerai, harta dari masing-masing pihak terlindungi, tidak ada perebutan harta kekayaan bersama atau gono-gini.

2. Atas utang masing-masing pihak pun yang mereka buat dalam perkawinan mereka, masing-masing akan bertanggung jawab sendiri-sendiri.

3. Jika salah satu pihak ingin menjual harta kekayaan mereka tidak perlu meminta ijin dari pasangannya (suami/istri).

4. Begitu juga dengan fasilitas kredit yang mereka ajukan, tidak lagi harus meminta ijin terlebih dahulu dari pasangan hidupnya (suami/istri) dalam hal menjaminkan aset yang terdaftar atas nama salah satu dari mereka.

Namun, Perjanjian Kawin harus memenuhi syarat Pasal 29 ayat 2 UU Perkawinan, yang berbunyi:

Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. (edo/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads