"Banyak lagi alasannya. Pertama, pelaksanaan pembangunan reklamasi didahulukan sebelum adanya Surat Keputusan Izin Reklamasi dari Gubernur," kata Wakil Ketua DPRD DKI Abraham Lunggana (Lulung) dalam jumpa pers di Gedung Dewan, Jl Kebon Sirih, Jakarta, Selasa (12/4/2016).
Pada 23 Desember 2014, Ahok menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi berupa Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014. SK itu untuk memberikan izin pelaksanaan reklamasi Pulau G (Pluit City) pada PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan Agung Podomoro Group.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dua Raperda itu adalah Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta 2015-2035, dan Raperda rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara. Dua Raperda inilah yang akhirnya dihentikan pembahasannya oleh DPRD DKI.
Lulung mengakui memang awalnya tak semua fraksi setuju dengan penghentian pembahasan dua Raperda itu. Namun demikian, akhirnya keputusan Rapat Pimpinan Gabungan DPRD DKI menyatakan pembahasan itu dihentikan. Lulung menyatakan, keputusan penghentian dua Raperda soal reklamasi ini juga dipengaruhi aspirasi masyarakat pesisir Jakarta.
"DPRD menerima masyarakat pesisir pantai dan pulau-pulau kecil yang meminta bahwa pembahasan Raperda ini agar dihentikan," ujar Lulung.
Selain alasan-alasan tersebut, keputusan DPRD menghentikan pembahasan dua Raperda itu dipengaruhi oleh kerja penegakan hukum KPK yang memroses Mohamad Sanusi, anggota Badan Legislasi Daerah DPRD DKI. Selain itu, ucapan Ahok juga turut mendorong pembatalan pembahasan dua Raperda itu. Ucapan Ahok yang dimaksud adalah yang memuat pengertian lebih baik menunggu sampai Pemilu 2019 saat DPRD DKI diisi orang baru agar tambahan kontribusi 15 persen bisa terakomodasi di Peraturan Daerah, bukan Peraturan Gubernur.
"Ya kalau ngotot maka tunggu ganti DPRD pada 2019," kata Ahok di depan Monas, Jakarta Pusat, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu (6/4/2016) malam.
(dnu/Hbb)