I Wayan Sumardana alias Tawan menjadi fenomena karena merangkai lengan robot yang dikendalikan sinyal otak. Komponen alat buatan Tawan mulai dari besi penopang, tabung hidrolis, hingga beberapa kabel terlihat bekas. Sumardana merancang, merakit dan menyambung sendiri seluruh item tersebut.
Tak hanya itu, Tawan itu juga menggunakan CPU komputer, dinamo, tuning potensio, sensor ultasonik, sensor infra merah dan sensor jumlah putaran dinamo. Tuning potensio merupakan rangkaian pengolah input dan output mikrokontroler. Tawan memasang satu unit CPU komputer di bagian belakang tubuhnya yang berfungsi sebagai penggerak dari sensor di kepala.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lalu ada drone, elektroda dan lainnya. Posisinya ditempel di kepala sebagai penangkap sinyal, alpa, delta, beta dan teta," jelas Tawan yang ditemui detikcom di bengkelnya di Desa Nyuhtebel, Karangasem, Bali, Rabu-Kamis (20-21/1/2016) lalu.
Satu komponen kunci, yakni sensor EEG (Electro Encephalo Graphi) dibelinya online dari Amerika Serikat (AS) senilai Rp 4,7 juta. Ia menjelaskan, alat ini berfungsi melalui sensor otak yang dipasang di kepala yang mengendalikan arah gerak ke tangan kirinya melalui alat yang dipasang di punggung dan tangan kirinya.
![]() |
Lagi-lagi dengan tampang polos dan lengan kiri yang lunglai berwarna pucat ia coba menjelaskan sebuah skema penggunaan alat robotik hasil kreasinya. Ia menguraikan jika alat EEG yang terpasang di kepalanya ada power supply. Power supply sebagai penangkap dan pembagi kekuatan.
"Inframerah, sensor ultrasonik, dan sensor jumlah putaran dinamo ini adalah rangkaian penguat power. Ada pula EEG. Semuanya tersambung ke dinamo agar dapat bekerja secara maksimal," jelas Tawan yang oleh media mendapat julukan "Iron Man dari Bali" itu.
Sebagai lulusan SMK, Tawan mengakui bahwa lengan robotnya sangat jauh dari sempurna. Tangan cyborg-nya tersebut masih membutuhkan banyak penyempurnaan. Mulai dari sensor bionik, mikro kontroler, aktuator. Ini untuk menyempurnakan gerak tangan dan jari. Penggunaan Electro Encephalo Graphic (EEG) membuat pria yang biasa dipanggil Tawan ini, membuat mual dan muntah. Ini dikarenakan radiasi dan elektromagnetik EEG yang diletakkan di kepala.
"Makanya saya ingin mengganti EEG ini dengan sensor bionik. Tapi nggak tahu berapa harganya," tambah Tawan.
Selain itu, tambah Tawan, selain menggerakkan tangan, dirinya juga ingin membuat alat yang bisa menggerakkan 5 jari kirinya. Itu juga membutuhkan alat tambahan alat aktuator sekitar 12 unit lagi. Aktuator adalah alat sensor, gear dan dinamo untuk menggerakkan tangan.
"Satu aktuator yang paling bagus Rp3 juta. Kalau butuh 12 tinggal mengalikan. Itu hanya untuk jari," jelas dia.
Kursi Roda Sinyal Otak
Bila Tawan membuat lengan robot karena terpaksa, lain lagi dengan dua mahasiswa Bina Nusantara ini, Jennifer Santoso (21) dan Ivan Halim Parmonangan (21). Mereka mengembangkan kursi roda dengan kendali otak ini untuk proyek skripsinya. Tujuannya, menolong orang lain.
![]() |
"Banyak yang tangannya patah, cacat seluruh tubuh, lumpuh dari leher ke bawah. Kami ingin membuat sistem yang menolong orang lain," tutur Jennifer kala ditemui di Binus Kampus Jalan KH Syahdan, Palmerah, Jakarta Barat, Jumat (22/1/2016).
Dari observasi penyandang disabilitas di sekitar mereka, ternyata, banyak disabilitas itu otak dan pikirannya masih sehat. Sehingga, Jennifer dan Ivan mengembangkan kursi roda dengan kendali otak. Penelitian ini sebenarnya melanjutkan dan mengembangkan penelitian kakak kelas mereka.
(Baca juga: Begini Video Cara Kerja Kursi Roda yang Dikendalikan dari Otak)
Maka, komponen-komponen utamanya adalah kursi roda dan alat bernama neuroheadset. Neuroheadset adalah alat yang bisa menangkap gelombang listrik otak dan memperkuatnya dalam skala ribuan kali. Neuroheadset ini terhubung ke aplikasi software yang mereka buat di dalam CPU. Neuroheadset yang mereka pakai bermerek Emotiv Epoc buatan Australia yang dibeli dengan harga Rp1,5 juta.
![]() |
"Aplikasi kami akan mengolah sinyal yang diterima dari neuroheadset, lalu difilter untuk mengambil gelombang alfa dan beta, yang kemudian ditransformasi dengan algoritma Fast Fourier Transformation, yang kemudian jadi input untuk mesin," jelas Jennifer.
Aplikasi yang dibuatnya kemudian akan meneruskan sinyal yang sedang diproses ke Arduino Uno yakni papan mikrokontroler, dan diteruskan ke motor driver yang akan digunakan untuk menggerakkan kedua motor DC, motor listrik yang bekerja menggunakan sumber tegangan DC.
Cara kerja kursi roda ini memakai 2 data, dengan electro encephalo graphi (EEG) alias sinyal otak untuk disabilitas yang lehernya tidak bisa bergerak dan dengan gyroskop untuk menangkap sensor gerak, bagi penderita yang masih bisa menggerakkan leher.
![]() |
Sedangkan dosen pembimbing skripsi Jennifer dan Ivan, Dr Widodo Budiharto, SSi, MKom menjelaskan bahwa kursi roda yang diteliti bersama anak didiknya ini memiliki beberapa keunggulan, yakni bisa mengoptimalkan hanya 2 saluran dari 14 saluran di neuroheadset yang menangkap sinyal otak dari beberapa bagian otak. Kedua, dari segi kebaruan, maka riset kursi roda berbasis kendali otak ini paling baru.
"Kursi roda ini sudah sangat baik karena sudah sangat cepat dalam pengklasifikasiannya (sinyal otak-red). Karena hanya menggunakan 2 channel dari 14 channel yang digunakan," tutur Widodo ditemui di tempat yang sama.
Namun ke depan, penyempurnaan akan dilakukan untuk memperbaiki beberapa kelemahan. Pertama, akan diperbaiki dari sisi kontroler seefisien mungkin.
"Sistem catu dayanya agar mampu mensuplai tegangan ke kursi roda selama mungkin. Kemudian mengoptimalkan filtering sistem yang ada karena mau tidak mau kita masih berhadapan dengan noise yang muncul dari sistem tubuh manusia yang mengganggu pembacaan sensor EEG tersebut," paparnya.
Misi Kemanusiaan
Tawan yang merangkai lengan robot dari barang-barang bekas ini terpaksa karena tangan kirinya yang lumpuh. Lengan robot itu dia buat untuk meringankan bebannya, untuk lebih mudah melakukan pekerjaannya sebagai tukang las.
Dia merangkai lengan robot itu dengan tujuan sederhana, hanya untuk menolong dirinya sendiri, alih-alih merepotkan apalagi merugikan sesiapapun. Tawan sendiri mengakui sejatinya dia tak ingin memakai alat itu dan ingin sehat. Namun, bila dia memiliki uang, dia lebih memilih menggunakannya untuk kebutuhan anak-anaknya daripada memikirkan kesehatannya sendiri.
Bagi Tawan lengannya bisa berfungsi sedikit untuk membantunya mencari nafkah, itu saja sudah cukup. Maka, dia tak ingin alat rangkaiannya yang ilmunya dipelajari dari internet itu dibesar-besarkan lagi.
Lain lagi dengan mahasiswa Binus, mereka mengembangkan kursi roda dengan sinyal otak dengan tujuan membantu orang lain. Bahkan sudah ada yang meminta dibuatkan kursi roda itu. Namun sayang, belum bisa dipenuhi karena kursi roda ini masih disempurnakan. Harapannya, kursi roda ini bisa diproduksi massal sehingga bisa membantu bagi mereka yang membutuhkan.
Baik Tawan dan dua mahasiswa Binus itu bermaksud baik. Bila Tawan merangkai lengan robot untuk membantu dirinya sendiri dan menghidupi istri dan tiga anaknya, maka dua mahasiswa Binus itu membuatnya untuk membantu orang lain.
Maka, niat mulia dan kehendak berkreasi mereka semua patut diapresiasi tinggi.
Halaman 2 dari 1
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini