Nadiem mengakui adanya gesekan-gesekan kecil di luaran. "Ada tensi dengan ojek di luaran, itu miskomunikasi," jelas Nadiem saat ditemui di sela-sela acara New Cities Summit 2015 di Ciputra Artpreneur, Komplek Ciputra World 1, Jl Prof Satrio, Jakarta Selatan, Selasa (9/6/2015) kemarin.
Nadiem menjelaskan, pihak Go-Jek tidak ingin bersaing atau berebut pasar tukang ojek pangkalan. Dirinya menegaskan, mendirikan Go-Jek malah untuk membantu tukang ojek pangkalan meningkatkan pendapatan.
"Kita malah ingin semua ojek gabung ke network kita. Selain bisa meningkatkan penghasilan, juga akan didik untuk mengerti teknologi. Kita ingin membantu mereka," jelas Nadiem.
Di Go-Jek, sopir ojek tidak hanya sekadar mengantar warga, namun juga bisa menjadi kurir atau layanan antar makanan. Pihaknya juga menyebut tak ingin merebut porsi jasa pengantar logistik karena menciptakan pasar sendiri. Mitra sopir Go-Jek mendapatkan bagi hasil 80% dari total transaksi dari penumpang.
Keuntungan bukanlah tujuan utama Nadiem mendirikan Go-Jek, dia hanya ingin meningkatkan pendapatan mitra sopir ojeknya. Nadiem mengaku menolak tawaran untuk membuka franchise Go-Jek di luar negeri.
"Sering ditawari, tapi tidak tertarik. Ya kalau mau buka aja sendiri di negaranya kan, tidak harus dengan mengajak saya. Saya ingin fokus di Indonesia saja. Ini bukan untuk saya sendiri, tapi juga sosial. Tim saya yang kerja dengan saya juga tak memikirkan uang," tuturnya.
Pada Selasa kemarin, sebuah akun Path menuliskan insiden bahwa sopir Go-Jek yang dipesannya diusir oleh tukang ojek pangkalan di Kuningan yang tak terima rezekinya diserobot. Dua kali dia memanggil sopir Go-Jek, dua kali pula sopir Go-Jek lari karena takut dipukuli tukang ojek pangkalan. Akhirnya dia naik ojek pangkalan dengan tarif jauh lebih mahal dibanding tarif sopir Go-Jek. Sekadar diketahui, tarif ojek Go-Jek lebih pasti karena ditentukan lewat aplikasi sehingga perlu tawar menawar.
(nwk/nrl)