Jika menurut UU Perkawinan, maka usia minimal untuk menikah bagi perempuan adalah 16 tahun.
"Tingginya insiden perkawinan anak di Indonesia pada akhirnya justru lebih banyak memunculkan implikasi yang negatif seperti kemiskinan. Bagi rumah tangga miskin, anak perempuan dianggap sebagai beban ekonomi dan perkawinan dianggap sebagai solusi karena lazimnya setelah menikah, kebutuhan pangan, sandang dan papan menjadi tanggung jawab suami," kata peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Muhadjir Darwin dalam siaran persnya, Senin (10/11/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kondisi itu justru menciptakan lingkaran kemiskinan karena banyak pasangan laki-laki yang juga terlalu dini usianya untuk menikah. Belum ada kesiapan secara mental, ekonomi, bahkan sosial untuk menikah," ujar Muhadjir.
Selain terkait dengan persoalan kemiskinan, perkawinan dini juga memunculkan masalah kesehatan. Banyak penelitian menunjukkan, risiko kehamilan maupun persalinan pada anak begitu tinggi. State of World Population 2013 yang diluncurkan oleh Lembaga Dana Kependudukan PBB (UNFPA) menyebutkan, 70 ribu kematian remaja terjadi setiap tahun akibat komplikasi yang dialami semasa
kehamilan, maupun persalinan. Lebih lagi, perkawinan anak juga berkolerasi erat dengan persoalan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tingginya angka putus sekolah, bahkan risiko tertular penyakit sepert HIV/AID, dan Obstetrict Fistula.
Menurut Muhadjir, perkawinan dini juga tidak hanya banyak berimplikasi negatif, perkawinan anak sebetulnya telah melanggar hak asasi manusia, terutama hak anak. Perkawinan anak banyak yang terjadi di luar persetujuan anak. Hak untuk tumbuh kembang, kebebasan untuk mengambil pilihan dihilangkan. Maka, batas usia yang diatur di dalam UU Perkawinan harus dibatalkan, dan diganti dengan menaikkan batas usia perkawinan ke dalam usia yang lebih dewasa, yakni 18 tahun.
"Adanya ketentuan yang lebih tinggi serta sanksi tegas mendorong kepatuhan yang tinggi pula dari masyarakat. Sri Lanka adalah salah satu benchmark atau patokan sekaligus contoh yang baik karena mampu menaikkan batas usia perkawinan, bahkan menerapkan sanksi bagi mereka yang melanggar. Nah, mengapa Indonesia tidak?" pungkas Muhadjir.
(asp/try)