Notifikasi untuk Anda

Belum ada notifikasi baru.

Lihat Semua Notifikasi
Daftar/Masuk
Notifikasi untuk Anda

Belum ada notifikasi baru.

Lihat Semua Notifikasi
Daftar/Masuk

SPOTLIGHT

Derita Tak Kunjung Padam Korban Keracunan Obat

Para korban gagal ginjal akut karena keracunan obat tak kunjung pulih seperti semula. Biaya perawatan yang tinggi disebut menjadi salah satu kendala yang dirasakan keluarga korban. Di sisi lain, bantuan dari pemerintah tak kunjung mengucur.

Foto Ilustrasi: Korban keracunan obat batuk dan penurun panas (Luthfy Syahban/detikcom)

Rabu, 3 Januari 2024

Derita keluarga Septiana tak kunjung berakhir. Sudah lebih dari satu tahun sejak sang buah hati keracunan obat dan mengakibatkan gagal ginjal akut. Kondisi tersebut membuat sang anak sempat koma selama satu setengah bulan. Setelah itu, anak berusia 4 tahun tersebut hanya bisa berbaring di tempat tidur selama 6 bulan sembari menggunakan alat bantu pernapasan dan selang untuk konsumsi makanan.

"Terus sekarang sampai kemarin itu dia pemulihan dari awal lagi, kayak belajar jalan lagi. Pokoknya dari awal kayak bayi lagi. Nah, ini sekarang masih mau belajar makan karena dia masih pakai selang untuk makan dari hidungnya," ucapnya kepada detikX, Senin, 1 Januari 2024.

Walaupun kondisi buah hatinya sedikit membaik, Septiana tetap harus meluangkan waktu hampir setiap hari untuk mengantar anaknya kontrol medis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Terlebih, sang anak masih harus menjalani cuci darah, setidaknya dua kali dalam seminggu.

Dalam satu kali kunjungan ke RSCM, Septiana harus mengeluarkan uang Rp 300 ribu hanya untuk biaya transportasi. Maklum, kondisi sang anak tidak memungkinkan untuk dibawa menggunakan transportasi umum. Ia terpaksa menyewa taksi online.

Selama sebulan, biaya perawatan sang anak dapat mencapai Rp 20 juta. Jumlah itu termasuk biaya untuk membeli obat-obatan yang diresepkan oleh dokter tapi tidak ditanggung BPJS. Beberapa obat atau suplemen yang dimaksud adalah Latropil dan DHA Complex. Dalam sebulan, menurut Septiana, konsumsi dua obat dan suplemen itu dapat menghabiskan dana Rp 1 juta.

"Itu yang kelihatan. Belum lagi ambil-ambil, beli obat-obatan yang nggak di-cover BPJS," ucapnya Septiana, warga Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Septiana mengaku harus meminjam uang kepada sejumlah pihak untuk memenuhi biaya perawatan anaknya. Ia dan suaminya terkadang harus bergantian mengambil cuti untuk dapat merawat anaknya. Hal itu membuat gaji keduanya sempat mengalami pemotongan. "Nah, udah gaji kecil, dipotong. Terus kita sampai-sampai minjam," ucapnya.

Sejak lebih dari setahun lalu, tak sepeser pun bantuan dari pemerintah ia terima. Ia berharap pemerintah mengulurkan bantuan sehingga anaknya dapat terus bertahan dan pulih. “Obat-obatan, makanan, minuman, dan semuanya atas izin BPOM baru beredar itu, ya, kan? Nah, makanya BPOM atau pemerintah dan lain-lainnya itu harus lebih bener-bener, tuh. Kerja yang benar," ucapnya.

Hal serupa dialami oleh Resti. Sang buah hati yang baru berusia 2,5 tahun terancam buta permanen karena dampak dari gagal ginjal akut akibat keracunan obat. Saat ini, anak Resti juga masih menggunakan alat bantu pernapasan dan selang untuk konsumsi makanan.

Setiap minggunya, Resti harus wira-wiri dari rumahnya di Kemayoran, Jakarta Pusat, menuju RSCM. Pemeriksaan dan terapi untuk anaknya terkadang memakan waktu seharian. Karena kondisi tersebut, dan pemantauan anaknya harus dilakukan 24 jam, ia dan suami sempat kehilangan pekerjaan. Padahal, sejak setahun lalu hingga hari ini, sudah ratusan juta rupiah ia keluarkan untuk perawatan sang anak.

Para orang tua korban keracunan obat yang menyebabkan kasus gagal ginjal akut saat menghadiri sidang gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 
Foto: Istimewa 

Selain obat dan suplemen, Resti membeli secara mandiri selang alat bantu pernapasan yang digunakan anaknya (trakeostomi). Alat itu, menurut Resti, seharusnya ditanggung BPJS, tetapi ketersediaannya kerap kali terbatas di rumah sakit. Karena itu, ia harus membeli secara mandiri.

“Iya, sebulan sekali ganti. Jadi saya nunggu-nunggu lama dan itu baru pertama kalinya saya dapat dari rumah sakit. Dan itu nunggu-nya juga lama banget. Karena kan saya nggak mungkin nunggu anak saya berbulan-bulan nggak diganti, kan," ucapnya kepada detikX, Rabu 27 November 2023.

Hari ini sang anak terancam mengalami beberapa kondisi permanen, mulai gangguan penglihatan hingga fungsi gerak. Namun, sampai detik ini, tak sepeser pun bantuan ia terima dari pemerintah.

"Sampai sekarang nyatanya pun nggak ada perkembangannya, nih, kelanjutannya bagaimana (terkait ganti rugi dan bantuan dari pemerintah). Kita cuma dikasih janji-janji. Katanya, dari pengecekan data, nggak lama, dua minggu. Nyatanya sampai sekarang sudah sebulan lebih, sudah malah mau ganti tahun gitu. Nggak ada hasil sama sekali, sih," kisahnya.

Selain itu, Riski, salah satu orang tua korban yang lain, turut membenarkan beberapa alat penunjang dan obat-obatan tidak ditanggung oleh BPJS.  “Betul, di-cover BPJS pun cuma dikasih 2 dosis saja 2 hari, padahal seminggu lagi kontrol, berarti sisa harinya kan harus ditanggung sendiri. Bahkan untuk pasang selang yang terlepas, selang MDT yang terlepas, itu kalau kita datang ke rumah sakit, tetap saja bayar, padahal cuma pasang selang," ucapnya kepada detikX, Kamis, 28 Desember 2023.

Kepada detikX, Riski memberikan sejumlah daftar peralatan penunjang perawatan dan obat atau suplemen yang ditanggung BPJS dan yang tidak. Dari daftar itu, terdapat obat saraf yang ia klaim tidak ditanggung BPJS. Selain itu, peralatan penunjang, seperti micropore, kasa, Hypafix, dan DuoDerm, juga tidak ditanggung BPJS. Adapun susu khusus untuk asupan nutrisi juga disebut tidak ditanggung oleh BPJS bagi pasien rawat jalan.

Sedangkan alat bantu pernapasan berupa kanul trakeostomi sebenarnya ditanggung oleh BPJS, tapi keberadaannya kerap kosong di rumah sakit. Padahal para korban membutuhkan alat tersebut diganti secara berkala. Jika tidak diganti secara teratur atau telat, dapat mengakibatkan iritasi. Untuk itu, para orang tua korban membeli secara mandiri.  Pemasangan dan penggantian sonde (selang khusus yang dimasukkan melalui hidung melewati tenggorokan lalu kerongkongan dan menuju ke dalam perut) juga masih dikenai biaya.

Sementara itu, kuasa hukum keluarga korban kasus gagal ginjal akut karena keracunan obat, Tegar Putuhena, mengatakan masih banyak korban yang mengalami dampak kesehatan lanjutan dan belum pulih seperti semula. Menurutnya, klaim sembuh dari Kementerian Kesehatan hanya pulih ginjalnya saja. Padahal banyak korban yang mengalami dampak sampingan. Bahkan masih melakukan cuci darah. "Ada satu yang baru meninggal," ucapnya kepada detikX, Kamis, 28 Desember 2023.

Foto ilustrasi ruang perawatan kasus gagal ginjal akut di Aceh
Foto: ANTARA FOTO/AMPELSA 

Menurut Tegar, pihaknya menuntut agar semua korban, baik yang bertahan hidup maupun meninggal, mendapat kompensasi masing-masing sebesar Rp 3 miliar. Pihaknya juga melayangkan gugatan kelompok atau class action melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Saat ini gugatan tersebut masih dalam proses pembuktian.

Tak hanya itu, para keluarga korban juga sempat mendatangi DPR. Di sana keluarga korban dijanjikan akan mendapatkan kompensasi. DPR juga menyodorkan hasil rapat dengar pendapat pada 2 November 2022 antara DPR, Kementerian Kesehatan, BPOM, ikatan dokter, dan gabungan industri farmasi. Dalam RDP tersebut disampaikan skema bantuan untuk para korban. Bagi yang meninggal akan diberikan kompensasi sebesar Rp 50 juta dan yang masih hidup sebesar Rp 60 juta atau total keseluruhan Rp 17,5 miliar.

Di sisi lain, karena kewenangan Kemenkes yang terbatas, pemberian bantuan itu dilimpahkan ke Kemenko PMK untuk kemudian diteruskan ke Kementerian Sosial. Namun, pada 25 Maret 2023, Menteri Sosial Tri Rismaharini bersurat kepada Menko PMK dan menyatakan tak memiliki alokasi anggaran untuk pemberian bantuan karena anggaran Kemensos untuk penanganan sosial menurun sebesar Rp 300 miliar.

Pada Selasa, 7 November 2023, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan pemerintah akan memberikan bantuan atau santunan sebesar Rp 17,52 miliar pada pasien GGAPA. Namun hal ini tidak bisa dilakukan seluruhnya oleh Kemenkes. Menkes menjelaskan wewenang Kemenkes hanya dalam proses pembiayaan, bukan santunannya. Untuk ini, wewenang ada di kementerian lain. "Santunan mau kita keluarkan tidak bisa, karena kita sebagai Kemenkes tupoksinya (tugas pokok) tidak bisa memberi santunan. Itu tupoksi kementerian lain (Kemensos)," ungkap Menkes dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI saat itu.

Berdasarkan data yang dilaporkan Kemenkes, sebanyak 326 pasien GGAPA akan menerima santunan tersebut. Rinciannya, 204 pasien yang meninggal akan diberi santunan Rp 50 juta per orang, dengan total Rp 10,2 miliar. Sementara itu, 122 pasien sembuh akan diberi santunan Rp 60 juta per orang. Itu terdiri atas Rp 50 juta bantuan dan Rp 10 juta untuk pembiayaan obat.

Total biaya santunan untuk pasien yang sembuh sebesar Rp 7,32 miliar. Seluruh pembiayaan pelayanan kesehatan GGAPA ditanggung oleh program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Sementara itu, Mensos Risma pada 26 Oktober 2023 menjelaskan sudah menyurati Kementerian Keuangan untuk meminta anggaran bantuan yang dikeluarkan untuk korban gagal ginjal akut. Jumlahnya lebih dari Rp 19 miliar. Bantuan itu diberikan kepada korban yang meninggal dan rawat jalan.

Menurut Tegar, jumlah santunan yang dicanangkan pemerintah terlalu kecil. Pemerintah, menurutnya, tidak melihat dampak berkepanjangan dan sosial-ekonomi kasus tersebut bagi keluarga korban. Banyak dari keluarga korban yang kehidupan karier dan ekonominya remuk redam karena kasus keracunan obat. Bahkan jumlah itu masih terlampau sedikit untuk menutup biaya perawatan sejumlah pasien.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi
Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden 

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menekankan penanganan kasus gagal ginjal akut karena keracunan obat seluruhnya ditanggung BPJS. Adapun terkait santunan, saat ini sedang diproses oleh Kementerian Sosial.

"Seharusnya itu sudah termasuk yang di-cover oleh seluruh BPJS, walaupun ada kasus-kasus seperti ini (obat dan layanan yang tidak di-cover). Mungkin bisa dilaporkan dan disampaikan data-data terkait hal ini seperti apa layanan yang tidak dibayarkan BPJS," ucapnya kepada detikX, Kamis, 28 Desember 2023.

Menurut Nadia, total kejadian gagal ginjal akut karena obat sebanyak 326 kasus. Dari jumlah itu, sebanyak 240 anak meninggal dunia, sedangkan 169 anak dinyatakan sembuh. “Nah, sisanya enam kalau saya nggak salah itu masih ada yang melanjutkan perawatan, ya, walaupun yang tadinya, misalnya makan pakai sonde (selang nasogastrik), sekarang sudah mulai bisa makan sendiri. Tapi, ya, masih kita anggap memang belum sembuh," ucapnya.

Direktur Utama RSCM Supriyanto Dharmoredjo mengatakan, per Desember 2023, ada tujuh pasien kasus GGAPA (Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal) yang menjalani rawat jalan di RSCM. Menurutnya, semua obat-obatan yang diresepkan oleh dokter disediakan oleh RSCM dan ditanggung BPJS. Dokter atau apoteker tidak diperkenankan meresepkan obat yang harus dibeli di luar.

"Suruh ke sini (mengadu bila ada masalah). Soalnya, kayaknya nggak mungkin (tidak ditanggung BPJS). Suruh ke sini saja. Apotek kami pasti sesuai dengan apa yang diresepkan dokter," ucapnya kepada detikX, Jumat, 30 Desember 2023.

Pihak RSCM juga menjelaskan ada layanan cepat atau fast track bagi pasien dengan kebutuhan khusus. Jika merasa membutuhkannya, keluarga pasien GGAPA diminta langsung melapor. Adapun terkait pemasangan alat bantu selang pernapasan dan selang untuk mengkonsumsi makanan, RSCM menjamin seluruhnya ditanggung BPJS. Namun untuk suplemen, seperti susu khusus, itu hanya disediakan bagi pasien rawat inap.

Di sisi lain, RSCM membenarkan ada satu korban yang meninggal pada Oktober 2023. Korban tersebut sebelumnya diperbolehkan pulang dan menjalani perawatan jalan. Namun, saat itu kondisi korban masih membutuhkan cuci darah secara rutin.

"Sebenarnya kalau ada ketidakjelasan (soal biaya pengobatan), itu tolong jangan mencari tahu ke lain-lain. Langsung saja ke sini. Ini kok merasa nggak jelas ini itu langsung saja. Biar nggak tersesat itu. Kalau lupa bertanya, tersesat di jalan, salah bertanya, lebih tersesat lagi, hilang. Intinya gitu sih," ucapnya.


Reporter: Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad hasim

Baca Juga+

SHARE