Spotlight

Setelah Gagal Damai Kasus Lord Luhut

Diskusi dua aktivis terkait peran purnawirawan tentara di balik tambang emas di Papua berujung jeratan UU ITE oleh Luhut. Setelah sekitar 1,5 tahun berlalu, kasus tersebut akan disidangkan.

Ilustrasi : Luthfy Syahban

Rabu, 8 Maret 2023

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memakan korban dua aktivis hak asasi manusia, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Keduanya akan segera menghadapi persidangan karena dituduh telah menghina atau mencemarkan nama baik Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

Awal pekan lalu atau nyaris setahun sejak keduanya ditetapkan sebagai tersangka, berkas kasus mereka siap disidangkan. Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta telah melakukan pelimpahan berkas perkara tahap II kasus ini ke Kejaksaan Negeri Jakarta Timur.

“Berdasarkan berkas perkara dan barang bukti yang dikirimkan (oleh Polda Metro Jaya), tim jaksa berkesimpulan bahwa unsur perbuatan (penghinaan atau pencemaran nama baik) sudah terpenuhi sehingga yakin bisa dibawa ke proses persidangan,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati DKI Ade Sofyansah kepada reporter detikX kemarin.

Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti saat tiba di Polda Metro Jaya untuk pelimpahan tahap II kasus dituding mencemarkan nama Luhut Binsar Pandjaitan, Senin (6/3/2023).
Foto : Andhika Prasetia/detikcom

Haris adalah Direktur Lokataru Foundation, sedangkan Fatia merupakan Koordinator KontraS. Kasus mereka dengan Luhut bermula ketika mereka berbincang terkait hasil riset bertajuk ‘Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua’. Riset itu mengulas peran purnawirawan tentara di balik pertambangan emas. Rekaman diskusi itu kemudian diunggah di YouTube dengan judul: Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!

Pak Luhut selalu mengatakan, harga diri dan kehormatan lebih tinggi dari apa pun. Apalagi itu fitnah, pencemaran nama baik, untuk mendiskreditkan dirinya dan keluarganya."

Luhut kemudian melaporkan dua aktivis hak asasi manusia itu ke Polda Metro Jaya pada 22 September 2021. Polisi lalu menersangkakan keduanya, pada 21 Maret 2022, dengan menggunakan empat pasal. Pasal tersebut adalah Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) UU ITE terkait penghinaan atau pencemaran nama baik. Kemudian Pasal 14 ayat (2) dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, mengenai berita bohong yang dapat memicu keonaran di masyarakat. Keempat, Pasal 310 KUHP tentang Penghinaan.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi mendesak Kejati DKI Jakarta menghentikan perkara tersebut. Anggota koalisi yang juga Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia Julius Ibrani menilai Haris dan Fatia tidak layak dipidana karena apa yang dilakukannya adalah menyampaikan kritik. Kritik itu pun berasal dari sebuah penelitian.

Haris Azhar menegaskan, dirinya dan Fatia bukan takut menjalani persidangan. Menurutnya, kasus UU ITE yang menjeratnya harus dihentikan karena perkara ini tidak layak ada di negara yang menjamin kebebasan mengajukan kritik.

“Negara tidak boleh dan tidak bisa menggunakan kekuasaannya ketika dikritik oleh publik. Itu menandakan pejabatnya antikritik,” kata Haris. “Tapi, kalau mau dipaksakan, kami dengan senang hati meladeni itu karena akan semakin menunjukkan apa yang kami kritik selama ini.”

Kendati begitu, Kejati DKI Jakarta tetap melanjutkan kasus tersebut. Ade Sofyansah menjelaskan, sebelum dinyatakan berkas sudah lengkap atau P21, tim jaksa sempat meminta penyidik Polda untuk meminta petunjuk-petunjuk untuk memenuhi unsur pasal yang disangkakan.

Itulah yang membuat kasus ini berproses lama. Namun penyidik kemudian memenuhi permintaan jaksa hingga perkara ini pun harus dilanjutkan. “Secara yuridis, perkara ini wajib lanjut,” kata Ade.

Kendati begitu, Ade mengklaim, Kejati DKI tetap akan melihat dinamika di masyarakat mengenai kasus ini. Hal tersebut akan menjadi pertimbangan tim jaksa, salah satunya dalam melakukan penuntutan nantinya.

“Sesuai arahan pimpinan bahwa keadilan tidak hanya di buku, tapi juga harus melihat kondisi di masyarakat dan sebagainya,” kata dia. “Ada hal-hal di luar teks yang harus jadi penilaian tim JPU juga (salah satunya dalam hal penuntutan) nanti.”

Luhut Binsar Pandjaitan usai menjalani pemeriksaan selama satu jam terkait laporannya soal pencemaran nama baik oleh Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, Senin (27/09/2021). 
Foto : Agung Pambudhy/detikcom

Gagal Mediasi

Kuasa hukum Luhut, Juniver Girsang, memandang kasus ini memang layak sampai ke pengadilan. Sebab, menurutnya, upaya mediasi di kepolisian yang beberapa kali dilakukan tidak diindahkan Haris dan Fatia.

"Saat dianjurkan mediasi, Pak Luhut datang juga. Tapi kami sayangkan, rekan Fatia dan Haris tidak datang," kata Juniver kemarin. 

Juniver mengklaim, sejak awal Luhut sudah mengupayakan perdamaian dengan hadir di undangan-undangan mediasi. Luhut bahkan sudah memberikan somasi kepada Haris dan Fatia sebanyak dua kali.

"Tapi itu tidak direspons dengan baik dan malah dikatakan siap menghadapi proses hukum dan akan buka-bukaan di pengadilan," ujarnya.

Juniver pun memastikan Luhut akan datang ke pengadilan jika memang diminta datang. "Pak Luhut selalu mengatakan, harga diri dan kehormatan lebih tinggi dari apa pun. Apalagi itu fitnah, pencemaran nama baik, untuk mendiskreditkan dirinya dan keluarganya," tuturnya.

Kuasa hukum Haris dan Fatia, Nurkholis Hidayat, membantah kliennya tidak mengindahkan mediasi yang diupayakan kepolisian. Kegagalan mediasi terjadi karena para pihak tidak pernah memiliki jadwal yang cocok. 

"Ketika Haris-Fatia mendatangi panggilan polisi untuk mediasi, LBP (Luhut) tidak hadir. Juga sebaliknya," kata Nurkholis. 

Dia melanjutkan, sebenarnya Haris serta Fatia sudah berupaya memenuhi keberatan Luhut atas kritik yang disampaikan, dengan cara memberikan ruang untuk membantah dalam siaran live di channel YouTube Haris. Namun Luhut tidak menggunakan ruang tersebut.

"Yang menghentikan mediasi secara sepihak adalah polisi. Itu tidak mereka jelaskan mengapa memutuskan menghentikan proses mediasi," tuturnya.

Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti sedianya menjalani mediasi dengan  Luhut Binsar Pandjaitan soal kasus dugaan pencemaran nama baik, tetapi, mediasi batal digelar, Kamis (21/10/2021).
Foto : Andhika Prasetia/detikcom

Nurkholis juga membantah bahwa apa yang dilakukan Haris dan Fatia sebagai bentuk fitnah yang mencemarkan nama baik. Dia menjelaskan, dalam Surat Keputusan Bersama Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi UU ITE, disebutkan bahwa suatu perbuatan bukanlah merupakan delik pidana apabila berbentuk penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan.

Apa yang diucapkan Haris dan Fatia di YouTube, menurutnya, berasal dari riset yang berbasiskan fakta. Penelitian tersebut dilakukan oleh Koalisi Bersihkan Indonesia, yang beranggotakan KontraS, Walhi, Jatam, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, dan Yayasan Pusaka.

"Jadi, kalau LBP sebagai pejabat publik enggan dinilai, dievaluasi, dibahas dalam sebuah riset ilmiah, diperbincangkan publik, ya, jangan jadi pejabat publik,” ujarnya.


Reporter: May Rahmadi
Penulis: May Rahmadi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE