Spotlight

Gampang PHK Usai UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja dianggap berkontribusi besar munculnya badai PHK di Indonesia. Aturan tersebut dianggap mempermudah proses penghentian hubungan kerja.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Kamis, 19 Januari 2023

Perubahan strategi bisnis menjadi dalih salah satu perusahaan startup di Jakarta menggelar town hall meeting secara daring pertengahan Mei tahun lalu. Kepada para karyawannya, perusahaan itu membicarakan rencana pemutusan hubungan kerja (PHK).

Iwin, laki-laki 30 tahun yang menjadi salah satu korban PHK, menceritakan pengalamannya kepada reporter detikX. Dia meminta identitasnya tidak dipublikasikan karena ada perjanjian dengan perusahaan untuk merahasiakan segala prosesnya.

Sore hari saat itu, Iwin menceritakan, perwakilan perusahaan memberitahukan, perubahan strategi bisnis mensyaratkan adanya pengurangan karyawan. Karyawan yang mendapatkan e-mail sampai batas waktu pukul 20.00 WIB berarti akan terkena PHK.

“Tanpa sesi tanya-jawab,” kata pekerja di bagian risk and fraud itu kemarin. “Sejak saat itu perusahaan mengirim undangan ‘perjanjian bersama’ untuk layoff (pemberhentian karyawan).”

Ilustrasi badai PHK. 
Foto : Fuad Hasim/detikcom

Di dunia kerja, apa yang dilakukan perusahaan startup itu dikenal dengan istilah efisiensi. Secara sederhana, efisiensi adalah upaya perusahaan mendapatkan hasil maksimal dengan meminimalkan pengeluaran, dalam hal ini pengeluaran gaji karyawan.

Lu kalau gini caranya, ya, risiko gede banget buat diributin ke pengadilan. Sekarang aja lu banyak duit bisa ngasih kompensasi bagus. Coba kalau pas-pasan.”

Iwin mendapatkan surat undangan yang dimaksud itu tepat pada pukul 20.00 WIB. Isi surat elektronik tersebut, undangan untuk datang ke kantor sekitar seminggu kemudian dengan membawa seluruh peralatan dan fasilitas kantor yang ada padanya.

Iwin cemas. Dia tak terima akan kehilangan pekerjaan yang baru dia jalani selama enam bulan—tiga bulan di antaranya masa percobaan. Dia juga khawatir dengan hak-hak yang akan diterimanya. Sebab, dia tahu pandemi COVID-19 telah mengakibatkan badai PHK di berbagai perusahaan tanpa pemenuhan hak-hak karyawan.

Sambil menunggu waktu memenuhi undangan kantor, Iwin mencari informasi tambahan dan berkonsultasi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Ini untuk memastikan hak-hak yang seharusnya dia dapatkan. Dia berencana menggugat perusahaannya ke pengadilan.

Iwin menilai perusahaannya telah keliru dalam melakukan proses PHK. Pasalnya, tidak ada ruang dialog antara perusahaan dan pekerja. Dalam town hall meeting, pekerja tidak diperkenankan mendiskusikan rencana perusahaan.

Selain itu, perusahaannya tidak memberikan surat PHK sesuai peraturan yang berlaku, yaitu 14 hari. Iwin diminta berhenti kerja pada awal Juni 2022, tetapi sampai lebih dari pertengahan Mei, dia tidak mendapatkan surat tersebut.

“Untuk persiapan perlawanan hukum, gue ngirim e-mail ke mereka buat nanya alasan PHK, tanggal efektif PHK, dan lain-lain. Gue juga nanya, apakah ini proses PHK?” katanya. “Semua mereka jawab dengan jelas.”

Selama menunggu waktu untuk memenuhi undangan kantornya, Iwin dan teman-temannya yang mendapat e-mail undangan ke kantor juga tidak diminta bekerja oleh atasan masing-masing. Dia memandang atasannya tahu dia akan mengalami PHK dan karena itu ada perasaan tidak enak untuk memberi tugas kepadanya.

Persiapan awalnya untuk menggugat perusahaan sudah matang. Iwin berkomitmen memproses hukum jika perusahaan tidak memenuhi hak-haknya.

Ketika tiba waktu undangan tersebut, Iwin pun datang ke kantornya. Dia menemui tim human resource development dan seorang staf HRD memberikan surat PHK kepadanya, sambil menjelaskan hak-hak yang akan diterima. Tidak sesuai dugaan Iwin, ternyata perusahaan mampu memenuhi hak-haknya, bahkan lebih dari ekspektasinya. Dia pun mengurungkan niatnya menggugat perusahaan.

“Menurut hitungan dan saran dari LBH, kalau kompensasi pas-pasan, protes saja karena proses pemberitahuan mereka cacat,” katanya. “Berhubung ini sudah lebih banget, ya, lebih untung kalau diterima saja.”

Ilustrasi PHK di perusahaan.
Foto : Edi Wahyono/detikcom

Kendati demikian, Iwin tidak menerima begitu saja. Kepada staf HRD itu, dia mengatakan apa yang dilakukan perusahaan dalam melakukan PHK sangat bermasalah.

Lu kalau gini caranya, ya, risiko gede banget buat diributin ke pengadilan. Sekarang aja lubanyak duit bisa ngasih kompensasi bagus. Coba kalau pas-pasan,” katanya kepada staf tersebut.

Iwin adalah pekerja yang mencoba memperjuangkan haknya seorang diri karena tidak ada serikat pekerja di kantornya. Namun cerita pekerja mendapatkan hak-haknya seorang diri ketika mengalami PHK seperti Iwin tidaklah banyak. Abdul Aziz, misalnya, laki-laki 31 tahun yang bekerja sebagai sekuriti dengan sistem outsourcing, terpaksa kehilangan pekerjaan pada akhir tahun lalu tanpa mendapat pemenuhan hak.

Selama enam tahun bekerja, dia diminta mengundurkan diri dan hanya mendapat uang satu bulan gaji. Perusahaan menggunakan dalih efisiensi sebagai dasar keputusan itu. Aziz sadar seharusnya dia mendapat uang lebih dari itu karena pengabdiannya yang sudah lama. Namun dia tidak berani mempertanyakannya karena masih membutuhkan kantornya untuk urusan administrasi.

“Sampai sekarang paklaring belum keluar. Saya juga masih perlu bantuan HRD untuk keperluan administrasi pencairan BPJS Ketenagakerjaan,” katanya.

Aziz pun hanya bisa pasrah. Dia tidak kuasa menolak keputusan perusahaan, apalagi tidak ada serikat pekerja di kantornya.

UU Cipta Kerja Menawarkan Kemudahan PHK

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat bahwa ada lebih dari 17 ribu pekerja yang mengalami PHK sejak UU Cipta Kerja (Ciptaker) disahkan. Mayoritas PHK dilakukan secara sepihak. Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI Zainal Arifin mengatakan ini merupakan dampak dari UU Ciptaker.

“Cipta Kerja mempermudah proses-proses itu karena bisa sewenang-wenang melakukan PHK,” kata Zainal.

Melalui UU Cipta Kerja, kata Zainal, perusahaan bisa memberi uang pesangon serta penghargaan masa kerja setengah dari ketentuan yang berlaku jika perusahaan melakukan PHK atas dasar efisiensi karena kerugian keuangan.

Zainal melanjutkan, alasan efisiensi ini tidak jelas. Ditambah lagi, kerugian keuangan perusahaan bisa dilakukan dengan audit internal seperti yang tercantum pada Pasal 43 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, sebagai aturan turunan dari UU Ciptaker.

Selain itu, dalam UU Ciptaker, perusahaan bisa memberhentikan karyawan hanya dengan memberikan pemberitahuan. Hubungan kerja berakhir sejak itu. Jika karyawan menolak, akan ada proses bipartit, tripartit, hingga ke pengadilan.

“Karena itulah banyak perusahaan mudah melakukan PHK karyawan secara sepihak,” kata Zainal.

Ilustrasi PHK.
Foto : Andhika Akbarayansyah/detikcom

Dosen Hukum Perburuhan Universitas Gadjah Mada Nabiyla Risfa Izzati menerangkan, sejak berlakunya UU Ciptaker November 2020, efisiensi kerap menjadi alasan perusahaan untuk melakukan PHK. Ini terjadi karena parameter efisiensi tidak diatur secara jelas dan tidak selalu berkorelasi dengan kerugian perusahaan. 

“Itu sebabnya kemarin banyak sekali PHK startup yang sebenarnya secara keuangan baik-baik saja, tetapi mereka tetap melakukan lay off dengan alasan efisiensi,” kata Nabiyla.

“Dalam UU Cipta Kerja itu dibalik. Perusahaan bisa melakukan PHK dengan membuat pemberitahuan dan hanya jika menolak akan melalui proses bipartit. Ini hal kecil tapi sangat signifikan,” kata Nabiyla.

Itu sebabnya, menurut Nabiyla, aturan tersebut memiliki kontribusi terhadap badai PHK yang terjadi di Indonesia, terlepas dengan adanya pandemi COVID-19. Seperti kita tahu, pandemi telah membuat banyak perusahaan mengalami krisis keuangan sehingga perlu mengurangi karyawan.

Nabiyla melanjutkan, dalam UU Ciptaker, memang ada ruang penolakan PHK sepihak yang dimiliki karyawan. Namun pekerja sering kali tidak sadar dengan ini, apalagi jika tidak tergabung dalam serikat pekerja.

“Penolakan PHK itu biasanya hanya jika pekerja bergabung dengan serikat pekerja, karena punya power untuk menolak PHK. Jika pekerja itu adalah single fighter, itu jarang sekali terjadi di lapangan,” kata dia.

Pada awal berlakunya UU Ciptaker, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah sempat membantah isu bahwa perusahaan akan mudah melakukan PHK dengan berlakunya aturan tersebut. Ida mengatakan, dalam rangka perlindungan kepada pekerja atau buruh yang menghadapi proses pemutusan hubungan kerja, UU Ciptaker tetap mengatur ketentuan persyaratan dan tata cara PHK.

"Jadi tidaklah benar kalau dipangkas ketentuan dan syarat tata cara PHK. Tetap diatur sebagaimana UU 13/2003," kata Ida kala itu.


Reporter: May Rahmadi
Penulis: May Rahmadi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE