SPOTLIGHT

Kisah Orangtua Ateis Membesarkan Anak di Indonesia

Kendati tidak mengimani Tuhan, mereka punya alasan untuk membebaskan pilihan keyakinan anak-anaknya.

Ilustrasi: iStock

Rabu, 28 Desember 2022

Memilih hidup sebagai ateis di Indonesia bukanlah perkara mudah, apalagi sebagai orang tua. Di negara ini, paling tidak agama masih dibutuhkan dalam urusan administrasi dan kerap menjadi hal yang penting untuk kebutuhan interaksi sosial, setidaknya bagi anak-anak mereka, di lingkungan masyarakat maupun di keluarga besar. Maka para orang tua ateis harus menyiasatinya.

AFJ, seorang laki-laki berumur 49 tahun, mengisahkan betapa repot dia dan istrinya karena harus menyembunyikan identitas keyakinan dari keluarga besar supaya semua baik-baik saja. AFJ dan istrinya adalah orang yang tidak mengimani Tuhan sejak muda.

Sebelum memutuskan menjadi ateis, keduanya dibesarkan dengan nilai-nilai Protestan yang kuat. AFJ memiliki latar belakang budaya Batak dengan nilai-nilai Kristen yang kuat. Sedangkan istrinya bahkan anak seorang anak pendeta.

“Ada topeng ‘tanggung jawab’ kekristenan yang harus dipakai pada saat-saat tertentu,” katanya kepada detikX pekan lalu. AFJ dengan sadar menggunakan tanda petik tunggal pada kata tanggung jawab. Artinya, itu adalah sesuatu yang harus tak harus dilakukan.

Contohnya, dia mengisahkan, kemarin keluarga intinya terpaksa menjalani ibadah Natal di rumah karena kedatangan orang tuanya. Di rumahnya, ibadah Natal pun dilakukan disertai dengan perjamuan kudus.

AFJ menjelaskan, dalam Kristen Protestan, kegiatan perjamuan kudus hanya boleh dilakukan oleh orang yang sudah menjalani proses katekisasi. Katekisasi adalah masa seseorang mendapat bimbingan mendasar tentang kekristenan dari pemimpin agama sebelum menerima baptis.

Kedua anak AFJ, yang kini berusia 18 dan 20 tahun, belum menjalani proses itu. Dalam tradisi Batak, katekisasi biasanya dilakukan sejak remaja. “Secara prosedur, mereka belum boleh ikut perjamuan kudus,” katanya.

Namun, demi menghindari pertanyaan-pertanyaan, AFJ dan istrinya sepakat untuk membohongi orang tua mereka. “Kami bilang bahwa mereka (anak-anak) sudah layak mengikuti perjamuan kudus,” katanya. “Beruntung, mereka (anak-anak) sudah paham dan mengerti bagaimana pikiran orang tuanya, sehingga bisa diajak kerja sama, ha-ha-ha....”

Sampai sekarang, laki-laki yang berprofesi sebagai fotografer ini melanjutkan, keluarga besarnya tidak ada yang tahu mengenai pandangannya dan istri mengenai ketuhanan. Namun keduanya kerap mendapat pertanyaan-pertanyaan secara tidak langsung. Keluarga besar mereka sudah merasakan ada yang berbeda dengan keluarga kecilnya.

Ilustrasi ateisme dan beragama
Foto: iStock 

Pasalnya, di rumah AFJ, sejak dulu tidak pernah ada simbol-simbol kekristenan, seperti salib ataupun gambar-gambar keagamaan, layaknya rumah-rumah orang Kristen pada umumnya. “Pertanyaan-pertanyaan tidak pernah muncul secara eksplisit. Hanya sesekali dalam bentuk sarkasme,” kata dia.

Seperti AFJ, CK, laki-laki keturunan Tionghoa berusia 34 tahun, yang kini menjadi ateis atau non-believer juga tidak pernah meletakkan simbol-simbol keagamaan di rumahnya. Namun pelatih kebugaran yang memiliki dua anak ini sedikit beruntung: keluarga besarnya tidak pernah menanyakan keimanannya.

Pasalnya, CK melanjutkan, sejak kecil memang dirinya dididik secara sekuler. Meski orang tua CK penganut Konghucu, CK dibesarkan di sekolah-sekolah Katolik. Itu sebabnya, dia tidak merasa sebelumnya beragama Konghucu. “Waktu remaja, saya lebih merasa saya ini Katolik,” katanya.

Praktis tak ada kendala berarti yang dialami CK sebagai seorang kepala keluarga yang menganut nilai-nilai ateisme kecuali urusan administrasi. Karena administrasi kependudukan di Indonesia masih perlu mengisi kolom agama, dia mau tidak mau mengisinya. “Sejauh ini agama tidak penting sama sekali bagi keluarga saya kecuali untuk administrasi,” katanya.

Mengasuh Anak

Di dalam rumah, ketika banyak orang tua menggunakan konsep pahala-dosa dan narasi agama untuk mengontrol sikap dan menjawab pertanyaan-pertanyaan anak-anak, AFJ dan CK tidak menggunakannya. CK, misalnya, memberikan penjelasan saintifik kepada anak-anak mereka ketika anak bertanya mengenai mana yang benar, penjelasan agama atau sains, dalam menjelaskan asal usul alam semesta.

“Saya bilang, saya memilih penjelasan sains karena evidence based, tetapi saya bilang bukan berarti agama tidak berfungsi. Sometimes you pray, right?” kata CK. “Saya tidak mau juga membuat anak saya menjadi ateis.”

Urusan etika dan moral, CK dan AFJ memberikan penjelasan-penjelasan rasional yang sederhana kepada anak-anak mereka berkaitan dengan konsekuensi atas suatu perbuatan. Namun, ketika anak-anak mereka menyinggung moralitas agama yang masuk ke pikiran mereka melalui orang lain, seperti teman, guru di sekolah, atau keluarga besar, mereka akan memancing anak-anak untuk mempertanyakan moralitas tersebut.

Jika moralitas agama yang diterima anak-anak mereka melenceng, misalnya, AFJ akan memberikan penjelasan kepada anak mereka secara serius. “Ketika ada hal-hal aneh, yang melenceng dari (moralitas dan etika) yang kami ajarkan, kami melakukan reduksi dan memberi konteks pada informasi yang mereka dapatkan,” kata AFJ.

Kendati AFJ dan CK tidak mengimani Tuhan, bukan berarti mereka melarang anak-anak mereka mempelajari agama dan mempercayai Tuhan. Sebab, menurut mereka, biar bagaimanapun, keberagaman agama merupakan bagian dari kehidupan dan bagi sebagian orang, konsep tentang Tuhan masih dibutuhkan.

Ilustrasi parenting
Foto : Getty Images

“Tidak ada gunanya memaksakan sudut pandang kami yang bisa dibilang berbeda dari kebanyakan orang. Kami takut mereka akan menjadi ‘aneh’ dalam lingkungan tumbuhnya di luar rumah,” kata AFJ.

“Jika anak-anak, pada satu titik kehidupannya kelak menjadi teis (mengimani Tuhan), kami orang tuanya tidak akan mempersoalkan. Sebab, seperti yang sudah sering kami diskusikan bersama, keyakinan sebaiknya merupakan pilihan sadar. Kami tidak pernah sekali pun memaksa mereka untuk tidak percaya Tuhan atau agama,” lanjutnya.

Itu sebabnya, mereka tidak masalah ketika anak-anaknya menerima pelajaran agama di sekolah-sekolah. AFJ menyekolahkan anaknya di sekolah milik yayasan agama Buddha, sedangkan CK menempatkan anaknya di sekolah Katolik.

“Setidaknya ketika anak-anak ditanya orang agamanya apa, dia bisa menjawab dengan lugas dirinya Katolik,” kata CK sambil tertawa. “Karena agak aneh kalau nanti dia nggak bisa jawab.”

Berkomunitas

AFJ dan CK tergabung dalam grup komunitas Indonesian Atheist Parents di salah satu media sosial. AFJ adalah salah satu pendirinya. Grup tersebut lebih banyak diisi orang ateis dan agnostik (tidak peduli ada atau tiadanya Tuhan) yang berasal dari komunitas Indonesian Atheist (IA). IA adalah sebuah komunitas digital yang didirikan oleh Karl Kanadi pada 2008. IA kerap disebut sebagai awal mula para ateis di Indonesia mulai vokal menunjukkan eksistensinya.

Grup Indonesian Atheist Parents didirikan pada 2009-2010 dan hingga kini masih aktif. Dalam grup tersebut, para anggota grup saling bertukar pandangan mengenai pengasuhan anak tanpa narasi keagamaan dan ketuhanan. “Grup itu berangkat dari ide bagaimana memberi wadah diskusi tentang tumbuh kembang anak di luar kerangka dan pemahaman umum yang ada di masyarakat,” kata AFJ.

Ada yang bertanya tentang buku-buku dan film-film sains untuk anak, ada yang bercerita anaknya menggambar evolusi manusia saat pelajaran menggambar di sekolah, dan ada pula yang berkisah anaknya didoktrin guru agama di sekolah untuk membenci agama lain. Namun ada juga yang sekadar bertanya cara mengatasi bruntus pada pantat anak.

“Kegiatannya memang lebih banyak diskusi online tentang persoalan-persoalan yang muncul pada (kehidupan) anggota dalam keluarga ataupun anak-anaknya, khususnya persoalan agama dan ketuhanan,” kata AFJ.

Meski Indonesia adalah negara beragama, psikolog anak Ratih Ibrahim menilai, pola pengasuhan yang mereka lakukan kemungkinan akan membuat anak-anak menjadi kritis berpikir dan bersikap. Yang terpenting orang-orang di sekitarnya bisa mendukung tumbuh-kembang mereka dengan baik.

“Yang penting lingkungannya tidak judging, dan fokus pada pendidikan budi pekertinya, serta memahami dan menerima sikap kritis sebagai hal yang wajar,” kata Ratih. “Keademan itulah yang akan membuat anak-anak ini nanti tetap bisa tumbuh jadi insan yang baik.”

Ratih melanjutkan, memang agama adalah hal yang penting dan baik untuk hidup. Begitupun mendasarkan pengasuhan anak pada ajaran-ajaran agama. Namun itu bukanlah sebuah keharusan. “Di sini diskusi terjadi, karena ada ruang-ruang pilihan yang membutuhkan pemahaman dan penerimaan terhadap perbedaan (tolerance and acceptance),” katanya.


Penulis: May Rahmadi
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE