Ilustrasi : Edi Wahyono
Duduk di ruang rapat paripurna DPR RI, mulut Yenti Garnasih tidak henti-hentinya komat-kamit. Dia tengah berzikir dan berdoa. Siang itu, Selasa, 6 Desember 2022, anggota DPR bersama pemerintah bersiap mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Anggota Tim Perumus RKUHP ini khawatir pengesahan buku babon undang-undang pidana modern itu bakal menimbulkan demonstrasi besar seperti pada September 2019. Pada masa itu, demonstrasi digelar di beberapa daerah. Lima orang menjadi korban meninggal dunia akibat tindakan represif aparat keamanan.
“Dan benar, di depan (kompleks parlemen Senayan) sudah ada demo. Tapi alhamdulillah nggak sebesar yang kita bayangkan,” kata Yenti saat berbincang dengan reporter detikX via telepon pada Kamis, 8 Desember 2022.
Sebagai tim perumus yang terlibat dalam perancangan RKUHP sejak 2015, Yenti sadar bahwa undang-undang baru ini masih jauh dari kata sempurna. Ada beberapa pasal, kata Yenti, yang mungkin akan menimbulkan polemik.
Dalam beberapa rapat tim perumus bersama Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia, ada 14 isu krusial dalam RKUHP yang terus menjadi perdebatan. Di antaranya terkait delik penghinaan terhadap lembaga negara, kohabitasi atau kumpul kebo, aturan yang hidup di masyarakat, pidana mati, dan lingkungan hidup.
Komisi III DPR menerima draf atau naskah Rancangan Undang-Undang tentang KUHP hasil sosialisasi ke publik di Senayan, Jakarta, Rabu (9/11/2022).
Foto : Firda Cynthia Anggrainy Al Djokya/detikcom
Sehingga ke depan kita juga ingin menjaga agar tidak ada razia, tidak ada penggerebekan. Dan klir, delik kejahatan terhadap perkawinan dan terhadap lembaga keluarga, itu tidak boleh ada orang lain selain suami-istri maupun anak dan orang tua (yang mengadukan).”
Menjelang pembahasan tahap I di Komisi III DPR RI pada 24 November 2022, tim perumus bersama Kemenko Polhukam masih terus berunding tentang dua pasal yang diprediksi bakal ‘bikin gaduh’. Dua pasal ini dianggap paling melelahkan untuk dibahas, yakni Pasal 411 dan 412 tentang perzinaan dan kohabitasi.
“Kami di tim ahli juga nggak lempang-lempang saja. Tiga bulan terakhir kan konsinyering terus,” jelas Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia ini.
Tiga hari sebelum pembahasan tahap I di Komisi III DPR, tim perumus bersama Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej, menggelar rapat secara daring dan luring. Rapat digelar sampai larut malam.
Dalam persamuhan itu, Yenti mempertanyakan soal poin-poin yang dianggap ganjil dalam dua pasal tersebut. Musababnya, dalam draf RKUHP tertanggal 9 November 2022—sebelum disahkan—keterangan dalam dua pasal ini masih menyebutkan, selain orang tua-anak dan istri-suami, kepala desa juga boleh melaporkan jika mendapati warga atau yang tinggal di wilayahnya hidup seatap tanpa status perkawinan.
“Nanti penegakan hukumnya bagaimana? Apa polisi harus masuk ke kos-kos?” kata Yenti.
Pada akhirnya pihak yang bisa mengadukan dipersempit. Dalam KUHP yang telah disahkan pada 6 Desember 2022, perihal ‘kepala desa’ sebagai pelapor dihapuskan. Beleid baru ini turut dibubuhi penjelasan, yang pada intinya, tidak boleh ada peraturan lain terkait kohabitasi di luar KUHP.
Seorang anggota Komisi III DPR RI mengatakan pasal kohabitasi dan perzinaan memang jadi isu yang paling alot, baik secara ideologis maupun keilmuan. Saat rapat pengesahan RKUHP tahap I di Komisi III DPR RI pada 24 November, pembahasan soal pasal kumpul kebo sampai membuat sidang diskors untuk beberapa jam.
Dari 12 poin krusial yang tersisa, hanya pasal perzinaan dan kohabitasi yang membuat rapat mencapai titik kuldesak. Pembahasan terkait poin ini pun pada akhirnya harus dibawa ke forum lobi tertutup di ruang pimpinan Komisi III.
Dalam forum lobi ini, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir menanyakan kepada peserta rapat terkait keputusan memasukkan atau tidak pasal perzinaan dan kohabitasi ke dalam KUHP baru. Pertanyaan itu, menurut seorang anggota DPR RI, sempat membuat ruang pimpinan Komisi III menjadi gaduh.
“Karena ada dua pandangan yang ekstrem. Satu ingin dihapus, satu ingin mempertahankan,” jelas sumber ini kepada reporter detikX pekan lalu.
Massa dari berbagai elemen aktivis menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR RI, di Jl Gatot Subroto, Jakarta, Senin (5/12/2022).
Foto : Ari Saputra/detikcom
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Nasional Demokrasi Taufik Basari dan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Ichsan Soelistio, kata sumber ini, menjadi dua orang yang mendesak agar pasal tersebut dihapuskan. Taufik dan Ichsan turut melobi anggota lainnya untuk menolak pasal tersebut.
Sebagian besar fraksi, kata sumber detikX, setuju untuk menghapuskan pasal tersebut. Fraksi-fraksi itu di antaranya Partai Gerindra dan Partai Golkar. Mereka menerima argumen Taufik bahwa isu perzinaan dan kohabitasi tidak layak dimasukkan ke dalam undang-undang pidana karena terlalu bersifat privat.
Dua isu ini, kata sumber detikX menirukan Taufik, tidak sesuai teori hukum pidana yang harus memenuhi asas actus non facit reum nisi mens sit rea. Artinya, suatu perbuatan tidak dapat membuat seseorang dinyatakan bersalah kecuali dengan sikap batin yang salah. Dalam kata lain, unsur pidana hanya dapat terpenuhi apabila ada perbuatan dan kehendak berbuat jahat dari pelakunya.
Dalam konteks ini, Fraksi NasDem dan PDI Perjuangan menganggap bahwa kohabitasi adalah perbuatan yang konsensus atau dilakukan atas kehendak para pelakunya. Istilahnya mau sama mau. Namun argumentasi ini tidak dapat diterima oleh fraksi partai berbasis Islam, salah satunya PPP.
“Itu kan akhirnya mau ribut, PPP mau ribut. Kalau pasal itu diutak-atik, ‘Kita mending nggak usah disahkan’,” ungkap seorang anggota Komisi III lainnya kepada reporter detikX.
PPP, kata sumber ini, tidak hanya mendesak untuk tetap memasukkan soal kohabitasi ke KUHP, tapi juga ‘ngotot’ agar pasal ini dimasukkan dalam delik kesusilaan. Bukan delik aduan. Alasannya, kohabitasi tidak sesuai dengan norma ketimuran, yang selama ini dipegang teguh oleh bangsa Indonesia.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP Arsul Sani membenarkan bahwa fraksinya sempat meminta agar pasal kohabitasi masuk sebagai delik kesusilaan. Arsul mengatakan permintaan itu merupakan usulan dari sejumlah provinsi yang sebagian besar masyarakatnya memegang teguh ajaran Islam. Provinsi tersebut di antaranya Sumatera Barat, Aceh, Banten, Riau, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.
Meski begitu, Arsul membantah jika disebut fraksinya ‘ribut’ dan ‘ngotot’ untuk memaksakan pandangan tersebut. Menurut Arsul, Fraksi PPP hanya meminta agar pandangan tersebut ikut dipertimbangkan. PPP, kata Arsul, bahkan meminta agar penyelesaian masalah ini dilakukan melalui sistem voting.
“Jadi bukan ngotot, ya. Saya minta jangan salah tulis ini,” kata Arsul saat dimintai konfirmasi reporter detikX pada Kamis, 9 Desember lalu.
Soal kemungkinan KUHP batal disahkan jika pasal kohabitasi dihapus, Arsul mengatakan, itu mungkin saja terjadi. Sebab, Arsul bilang, PPP akan meminta partai-partai berbasis Islam lainnya tidak menyetujui KUHP jika pasal soal kumpul kebo dihapus.
“Karena partai-partai Islam, seperti PPP, harus mempertanggungjawabkan posisi titik hukumnya kepada konstituennya, umat Islam. Itu yang harus dipahami,” tukas Arsul.
Desakan dari PPP dan partai-partai Islam inilah, kata sumber detikX, yang membuat pasal kohabitasi tetap dimasukkan dalam KUHP. Jalan tengah yang diambil pemerintah dan parlemen kala itu adalah menjadikan pasal tersebut sebagai delik aduan dan membatasi subjek yang dapat melaporkan.
Di sisi lain, masih ditemukan satu masalah yang harus ditentukan jalan keluarnya, yakni soal siapa yang dianggap menjadi korban. Sebab, dalam teori hukum pidana, dibutuhkan adanya subjek atau lembaga yang menjadi korban. Sementara itu, dalam kohabitasi, umumnya perbuatan itu dilakukan karena sama-sama mau.
DPR RI dan pemerintah, kata sumber detikX, sama-sama mencari akal agar dua perbuatan tersebut dapat masuk ke ranah pidana. Subjek atau lembaga yang dianggap sebagai korban pun akhirnya ditentukan secara abstrak, yakni suami atau istri jika sudah terikat perkawinan. Selain itu, anak dan orang tua jika pelaku belum terikat status perkawinan.
“Akhirnya kita bisa rumuskan bahwa keluarga itu juga sebuah lembaga yang dalam arti abstrak harus dihormati,” jelas salah satu anggota komisi yang membidangi hukum, HAM, dan keamanan ini.
Baca Juga : Barisan Influencer Peredam Kritik RKUHP
Demonstrasi tolak RKUHP di depan Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Selasa (23/9/2019).
Foto : Rifkianto Nugroho/detikcom
Ichsan Soelistio dari Fraksi PDI Perjuangan belum menanggapi permintaan wawancara detikX sampai artikel ini diterbitkan. Sementara itu, Taufik Basari tidak ingin mengomentari lebih jauh terkait adanya perdebatan yang terjadi di forum lobi tersebut. Sebab, menurut Taufik, diskusi tertutup itu tidak seharusnya muncul ke publik.
Taufik hanya mengatakan DPR RI sudah mengambil jalan tengah yang dianggap paling pas untuk menyudahi polemik pembahasan pasal kohabitasi. Fraksi NasDem mengupayakan agar penerapan pasal tersebut diberi batasan yang jelas. Tujuannya, agar penerapan pasal ini nantinya tidak disalahartikan oleh penegak hukum maupun masyarakat.
“Sehingga ke depan kita juga ingin menjaga agar tidak ada razia, tidak ada penggerebekan. Dan klir, delik kejahatan terhadap perkawinan dan terhadap lembaga keluarga, itu tidak boleh ada orang lain selain suami-istri maupun anak dan orang tua (yang mengadukan),” jelas Taufik saat dihubungi reporter detikX pekan lalu.
Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto, Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban