Spotlight

Digugat karena Racun dalam Obat

Gugatan para orang tua korban gagal ginjal akut menyasar Kemenkes dan BPOM karena lalai mengawasi peredaran obat yang ternyata beracun.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Kamis, 24 November 2022

Sudah dua bulan Siti Suhardiyati kehilangan anak bungsunya, Umar Abu Bakar. Pada 24 September lalu, Umar, yang masih berusia 2 tahun 10 bulan, mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM). Umar meninggal terjangkit gagal ginjal akut karena keracunan obat sirup.

Belakangan Siti tahu, kandungan racun di dalam obat itu akibat adanya senyawa toksik etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melampaui ambang batas. Menurut Siti, itu terjadi karena pemerintah telah lalai memastikan keamanan peredaran obat. Namun, hingga kini, pemerintah tetap tidak mengakui kesalahannya.

“Sampai saat ini tidak ada bantuan dari Kementerian Kesehatan maupun Badan Pengawas Obat dan Makanan,” kata Siti kepada reporter detikX pekan lalu. “Bahkan permintaan maaf saja tidak ada.”

Kasus gagal ginjal akut pada anak baru mulai menjadi pembahasan serius pada Oktober lalu. Hingga saat ini, sekitar 200 jiwa yang mayoritas berusia anak telah meninggal dunia.

Konferensi pers Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat terdapat 133 anak meninggal karena gagal ginjal akut, Jumat (21/10/2022).
Foto : Agung Pambudhy/detikcom


Tindakan tersebut jelas membahayakan karena BPOM RI tidak melakukan kewajiban hukumnya untuk mengawasi peredaran obat sirup dengan baik.”

Pemerintah menyebut fenomena ini terjadi karena produsen obat sirup menggunakan bahan pelarut obat mengandung cemaran yang tak aman untuk diedarkan. Bareskrim Polri dan BPOM sedang melakukan penyidikan terhadap para produsen obat itu.

Hingga kini Siti menanggung segala kerugiaannya sendiri. Pemerintah sama sekali tidak memberikan bantuan bahkan sekadar uang duka.

Petugas dinas kesehatan di wilayah tempat tinggal dan Bareskrim Mabes Polri memang pernah mendatangi Siti. Namun itu hanya untuk kepentingan pendataan dan penyelidikan.

Siti menjelaskan semua ini bermula ketika anaknya mengalami demam. Siti membawa anaknya itu berobat ke klinik yang menjadi fasilitas kesehatan tingkat pertama Badan Pelayanan Jaminan Sosial Kesehatan.

Dari klinik itu, Siti mendapat beberapa obat, salah satunya parasetamol sirup untuk mengatasi demam anaknya. Siti pun meminumkan obat itu ke buah hatinya. Namun, sehari setelah mengkonsumsi obat itu, kondisi anaknya justru semakin buruk.

“Anak saya malah jadi tidak bisa pipis,” katanya. “Kita ikhtiar kasih obat supaya anak sembuh, apalagi ibu sendiri yang kasih, malah meracuni.”

Siti pun membawa anaknya ke Rumah Sakit Polri, Kramat Jati. Namun RS Polri tidak memiliki alat yang memadai sehingga merujuk anak Siti ke RSCM. Di RSCM, anak Siti mendapat perawatan intensif sampai akhirnya meninggal dunia.

Di RSCM itu, Siti menyadari ternyata dia bukan satu-satunya orang tua yang anaknya mengalami kerusakan ginjal akut. Siti berkenalan dengan keluarga korban obat beracun lainnya dan mereka terhubung dalam grup WhatsApp.

Jumlah kasus gagal ginjal akut di RSCM mulai mengalami lonjakan pada Agustus. RSCM melaporkan fenomena itu ke Kemenkes, tetapi dugaan penyebab lonjakan jumlah kasus tersebut baru diketahui pada awal Oktober, setelah berkonsultasi dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Menggugat Pemerintah

Kini Siti dan 11 keluarga pasien lainnya mengajukan gugatan hukum kepada pemerintah. Melalui mekanisme gugatan perwakilan kelas (class action), para keluarga korban meminta pemerintah bertanggung jawab atas terjadinya kasus keracunan obat sirup yang telah merugikan mereka, baik secara materiel maupun imateriel.

Kuasa hukum para korban, Awan Puryadi, memandang keracunan EG dan DEG yang dialami anak para kliennya terjadi karena pemerintah, dalam hal ini BPOM dan Kemenkes, yang gagal menjalankan pengawasan obat-obatan. “Ada sistem yang tidak bekerja,” kata Awan.

Awan menilai BPOM gagal memastikan keamanan obat-obatan yang beredar di masyarakat. Sedangkan Kemenkes terlambat menyikapi fenomena gagal ginjal akut karena kasus ini sebenarnya sudah terjadi sejak Januari, tapi Kemenkes baru mengumumkan penyebabnya pada Oktober. Kala itu, obat-obatan sirup mengandung racun sudah tersebar masif dan korban sudah semakin banyak.

Salah satu poin gugatan yang akan diajukan, Awan menyebut, para korban meminta ganti rugi kepada pemerintah. Untuk masing-masing keluarga korban meninggal, pemerintah didesak membayar ganti rugi Rp 2 miliar. Sedangkan untuk keluarga korban yang anaknya masih dalam perawatan intensif sebesar Rp 1 miliar.

Awan mengklaim, sampai saat ini timnya masih mempersiapkan pendaftaran gugatan ke pengadilan. Jumlah penggugat bisa bertambah karena ada banyak keluarga korban yang masih mempertimbangkan untuk turut bergabung dengan para penggugat lainnya.

Di sisi lain, Komunitas Konsumen Indonesia sudah lebih dulu mengajukan gugatan legal standing ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Gugatan legal standing adalah hak bagi organisasi/lembaga swadaya masyarakat untuk mengajukan gugatan terhadap adanya pelanggaran dalam bidang lingkungan ataupun perlindungan konsumen.

Ketua Komunitas Konsumen Indonesia David Tobing mengatakan gugatan kepada BPOM telah diregister dengan nomor perkara 400/G/TF/2022/PTUN JKT. Menurut David, tindakan yang dilakukan BPOM dapat membahayakan hidup banyak orang karena tidak menguji sirup obat secara menyeluruh.

David juga menilai BPOM telah melakukan pembohongan publik. Pada 19 Oktober 2022, BPOM sempat mengumumkan lima obat memiliki kandungan cemaran EG dan DEG, tetapi pada 21 Oktober 2022 BPOM merevisi daftarnya dan menyebut dua obat di antaranya dinyatakan tidak tercemar.

Kemudian, pada 22 Oktober 2022, BPOM mengumumkan 133 obat dinyatakan tidak tercemar, tapi pada 27 Oktober 2022 menambahkan 65 obat sehingga total menjadi 198 yang dinyatakan tidak tercemar EG dan DEG.

“Namun, di tanggal 6 November 2022, justru malah dari 198 sirup obat, 14 sirup obat dinyatakan tercemar EG/DEG,” kata David. “Konsumen Indonesia dan masyarakat Indonesia seperti dipermainkan.”

David juga menilai BPOM telah melimpahkan tanggung jawab pengujian obat kepada para produsen ketika mulai ada dugaan cemaran senyawa racun yang menyebabkan gagal ginjal akut. Menurut David, tindakan itu mencerminkan BPOM tidak profesional.

“Ini merupakan tindakan yang melanggar asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas profesionalitas,” katanya. "Tindakan tersebut jelas membahayakan karena BPOM RI tidak melakukan kewajiban hukumnya untuk mengawasi peredaran obat sirup dengan baik.”

Kepala BPOM Penny Lukito menyebut gugatan tersebut didasari tidak adanya pemahaman yang sama mengenai sistem pengawasan obat di Indonesia. Penny mengklaim sejauh ini BPOM sudah menjalankan tugas sesuai aturan yang berlaku.

"Jadi BPOM sudah melakukan tugas sesuai standar kebutuhan yang ada, tapi ini ada masalah kelalaian di industri farmasi dan tentunya kelalaian ini menimbulkan satu kondisi yang sangat menyedihkan kita semua," kata Penny.


Reporter: May Rahmadi
Penulis: May Rahmadi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE