SAINS

163 TAHUN VAN GOGH

Vincent Van Gogh, Dibunuh atau Bunuh Diri?

“Orang macam apa, seberapa bermasalah pun, yang berusaha bunuh diri dengan menembak perutnya?”

Foto: Getty Images

Rabu, 23 Maret 2016

Vincent van Gogh adalah jiwa yang rapuh dan sakit. Tapi, dalam hidupnya yang singkat dan akhir yang tragis, pelukis kondang dari Belanda itu meninggalkan karya-karya luar biasa.

Perjalanan hidup Van Gogh adalah hidup yang sedih. “Selama 37 tahun hidup, Van Gogh tinggal di 37 tempat dan tak pernah kerasan,” kata Gloria Groom, kurator di Art Institute of Chicago, kepada Vogue, beberapa pekan lalu. “Dia tak pernah merasa nyaman dan selalu menganggap dirinya tak punya rumah.”

Vincent van Gogh
Foto: Getty Images

Perlahan, pikiran-pikiran buruk yang terus hinggap di kepalanya membuat hidup Van Gogh yang suram makin muram. Pikiran-pikiran buruk yang terus menghantui Van Gogh itu rupanya juga mempengaruhi apa yang dia lukis, paling tidak dalam lukisan-lukisan Kamar Tidur di Arles.

Dengan menggunakan teknik sinar-X, Macro X-ray Fluorescence Spectrometry, para peneliti di Art Institute of Chicago, Amerika Serikat, menelusuri bagaimana perubahan lukisan-lukisan kamar tidur yang ditinggali Van Gogh selama “berkelana” di Arles, Prancis. “Kami menggunakan teknik ini untuk mendekati perubahan mental yang dialami Van Gogh,” kata Francesca Casadio, ketua tim peneliti, seperti dikutip BBC.

Setiap kali aku berusaha memahami sesuatu, mengapa aku berada di sini... horor dan teror mengerikan menguasai aku dan menghalangiku untuk berpikir."

Vincent van Gogh/Foto: Wikipedia

Kini, secara kasatmata, lantaran termakan umur, hampir tak ada beda di antara tiga lukisan kamar tidur di Place Lamartine, Arles, itu. Lukisan pertama tuntas digarap oleh Van Gogh pada 1888 saat masih tinggal di Arles. Saat itu, pikiran Van Gogh masih cukup terang. Dia juga belum terlibat keributan dengan pelukis Prancis, Paul Gauguin. Lukisan tempat tidur di Arles yang kedua dan ketiga dia selesaikan saat dalam perawatan di Rumah Sakit Jiwa Saint Paul de Mausole di Saint Remy, Prancis, hampir setahun kemudian.

“Sekilas ketiganya sangat mirip. Tapi, jika kita cermati lebih dalam, kita bakal bisa meneropong kehidupan Van Gogh,” kata Francesca. “Lukisan pertama menunjukkan Van Gogh merasa senang dan dia memilih warna-warna terang. Dia ingin menunjukkan bahwa dia merasa nyaman dan damai.... Tapi di dua lukisan berikutnya, hidup Van Gogh sudah berubah jadi muram.” Warna-warna yang dipilih Van Gogh juga tambah suram dan makin gelap.

Beberapa bulan setelah menuntaskan lukisan ketiga Bedroom in Arles, Vincent Van Gogh meninggal. Konon, dia mengakhiri hidupnya sendiri.

Lukisan versi pertama Bedroom in Arles
Foto: Wikimedia

Lukisan versi kedua Bedroom in Arles
Foto: Wikimedia

Lukisan versi ketiga Bedroom in Arles
Foto: Wikimedia

***

Laki-laki itu berdiri termangu memandang hamparan ladang gandum yang berwarna keemasan. Di punggungnya, dia menyandang tas yang memuat alat-alat melukis. Setelah memasang kanvas, dia mulai melukis, tapi juga seperti meluapkan frustrasi.

Laki-laki tersebut, Vincent Van Gogh, saat itu 37 tahun, menyapukan kuasnya di kanvas penuh kemarahan. “Aku benar-benar putus asa... tak ada jalan keluar lagi,” kata Van Gogh sembari perlahan menarik pistol dari dalam tas. Dan dor.... Dia menembak perutnya sendiri.

Itulah sepenggal adegan Lust for Life, film tahun 1956 yang dibintangi oleh Kirk Douglas. Film yang disutradarai oleh Vincente Minnelli tersebut diangkat dari buku “biografi” karya Irving Stone. Yang jadi soal, menurut Gregory White Smith dan Steven Naifeh, penulis buku Van Gogh: The Life, semua yang dituturkan Irving Stone itu hanya “omong kosong”.

Pemalsu lukisan Vincent van Gogh di Shenzhen, Cina
Foto: Getty Images

“Bunuh diri Van Gogh versi Irving Stone ditulis berdasarkan catatan sejarah, psikologi, dan ilmu forensik yang buruk,” Gregory dan Steven menulis di Vanity Fair beberapa waktu lalu. Dalam bukunya, Gregory dan Steven membuat kesimpulan yang berlawanan dengan keyakinan banyak orang: Van Gogh mati dibunuh, bukan bunuh diri.

Berbulan-bulan sebelum kematiannya, suasana hati dan pikiran Van Gogh memang makin kalut. “Setiap kali aku berusaha memahami sesuatu, mengapa aku berada di sini... horor dan teror mengerikan menguasai aku dan menghalangiku untuk berpikir,” Vincent menulis surat kepada Theo, sang adik, seperti dikutip Guardian. Saat meninggalkan Rumah Sakit Jiwa St. Paul, sebenarnya kondisi mental Van Gogh masih sangat rapuh. Kepada Theo, adik sekaligus tulang punggung keuangannya, Vincent berkeluh kesah. “Lingkungan di sini malah membuatku merasa tambah terbebani.... Aku butuh udara segar. Aku sangat bosan dan galau.”

Apakah kondisi mental Van Gogh yang nyaris ambruk itu berujung pada tembakan ke dadanya sendiri? Sebelum “bunuh diri”, tak seperti yang banyak digosipkan, Van Gogh tak meninggalkan catatan apa pun soal rencana kematiannya. Bahkan, menurut penelusuran Gregory dan Steven, beberapa hari sebelum dia menemui kematian, Van Gogh masih memesan cat dalam jumlah besar.

Tubuhku adalah milikku. Aku bebas melakukan apa yang aku mau. Jangan menuduh siapa pun. Aku sendiri yang hendak bunuh diri."

Juga tak ada satu orang pun saksi mata yang melihat Van Gogh menembakkan pistol ke perutnya sendiri pada 29 Juli 1890 malam. Lantaran peluru tak mengenai organ vital, Van Gogh masih hidup dan baru meninggal 29 jam kemudian.

“Dan satu lagi, orang macam apa, seberapa bermasalah pun, yang berusaha bunuh diri dengan menembak perutnya?” Gregory dan Steven mempertanyakan “teori” bunuh diri Van Gogh. “Dan setelah gagal bunuh diri, mengapa dia tak melanjutkan dengan tembakan kedua, tapi malah terseok-seok pulang ke rumahnya?”

Gregory dan Steven juga meragukan keterangan sejumlah orang, seperti Adeline Ravoux, putri pemilik Ravoux Inn, rumah kontrakan yang jadi tempat tinggal Van Gogh. Menurut Adeline, kala itu masih 13 tahun, pada hari itu, Van Gogh pergi setelah usai sarapan dan baru pulang sekitar pukul 9 malam dengan luka di dadanya.

Makam Vincent dan adiknya, Theo van Gogh
Foto: Wikimedia

Mengutip cerita dari sang ayah, menurut Adeline puluhan tahun kemudian, saat ditanya bagaimana dia terluka, Van Gogh menjawab, ”Aku berusaha melukai diriku sendiri.” Ketika dua orang polisi Prancis datang dan meminta keterangan, Van Gogh berkata, ”Tubuhku adalah milikku. Aku bebas melakukan apa yang aku mau. Jangan menuduh siapa pun. Aku sendiri yang hendak bunuh diri.”

Cerita Adeline, menurut Gregory dan Steven, sebagian besar bersumber dari penuturan orang lain. Apa yang keluar dari mulutnya juga sering berubah. Apalagi kala itu Adeline masih 13 tahun. Dan dia baru menuliskan pengalamannya puluhan tahun kemudian.

Vincent Di Maio, ahli forensik dan analis luka tembak, menyokong hipotesis Gregory. Setelah menganalisis keterangan soal luka Van Gogh, Dr Di Maio berkesimpulan, besar kemungkinan Van Gogh tak menembak dirinya sendiri. Jika Van Gogh benar-benar menembak perutnya sendiri, kata Dr Di Maio, ”Mestinya ada jelaga, bekas bubuk mesiu, dan luka bakar di sekitar lubang peluru.” Tapi tak ada satu pun keterangan soal tanda-tanda itu. “Artinya, tembakan itu berjarak lebih dari satu atau dua kaki dari Van Gogh. Dengan kata lain, Van Gogh tidak bunuh diri,” kata Dr Di Maio kepada Independent.

Gambar potret diri Vincent van Gogh
Foto: Getty Images

Gregory dan Steven menduga, dua remaja bersaudara, Rene dan Gaston Secretan, tak sengaja menembak Van Gogh. Bertahun-tahun setelah kematian Van Gogh, Rene mengakui bahwa pistol yang membunuh Van Gogh adalah miliknya. Tapi dia membantah sebagai orang yang menarik pelatuk. Gregory dan Steven menduga Van Gogh sengaja “mengarang” cerita bunuh diri untuk melindungi Rene dan Gaston yang masih umur belasan tahun.

Leo Jansen, kurator di Museum Van Gogh, tetap yakin dengan “teori” lama soal kematian Van Gogh. Dia percaya pelukis jenius yang hidupnya menderita itu mati bunuh diri. “Kami belum bisa menerima kesimpulan Gregory dan Steven karena bukti-buktinya tak memadai,” kata Leo beberapa waktu lalu. Tapi Leo juga mengakui bahwa “teori” bunuh diri pun minim bukti, juga saksi. “Memang tak ada bukti. Kami hanya tahu apa yang Van Gogh katakan.”


Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Sains mengulik penemuan-penemuan baru serta seluk-beluk sains dan teknologi.



SHARE