METROPOP
“Sekarang, cium bau asap rokok saja saya sudah pusing. Kalau cium vape kan wangi dan dingin.”
Video: dok pribadi Rangga Bayu Triachyani
Jumat, 4 November 2016Rifqi Akbar Garibaldi bukan perokok dan tak doyan asap rokok. Padahal rapper grup reggae Shore ini selalu dikelilingi perokok. Tapi Rifqi, 33 tahun, tak pernah tertarik mengisap asap rokok.
“Ya, anak-anak band lo tahu sendiri. Kami suka nongkrong bareng. Ada yang ngerokok, tapi gua enggak pernah tertarik,” kata Rifqi. Lain soal saat dia kenal dengan vape. Menurut kamus Oxford, "vape" adalah menyedot uap—bukan asap—yang dihasilkan dari pemanasan cairan dalam rokok elektronik atau vaporizer.
Tiga tahun lalu, seorang teman memperkenalkan vape kepada Rifqi. “Gua lihat menarik juga, nih. Apalagi katanya tak berbahaya seperti rokok,” kata dia. Lantaran tren vape ini terhitung masih baru, belum ada bukti soal efek jangka panjang dari “rokok uap” ini.
Kini Rifqi tak pernah lepas lagi dari vaporizer-nya. Apalagi harga alat dan cairan vape makin murah. Dulu hampir semua barangnya harus diimpor dan harganya mahal betul. Sekarang makin banyak cairan buatan Indonesia. “Kalau ada waktu kosong, saya nyedot uap terus,” dia menuturkan.

Foto: Rengga Sancaya/detikcom
Sang istri juga tak berkeberatan dengan kegiatan sedot-menyedot uap ini. Bahkan kini istri Rifqi juga ikut hobi suaminya. “Awalnya dia tanya, ini barang apa? Sama enggak kayak rokok?” kata Rifqi. Beda sama rokok, cairan vape punya banyak sekali rasa. Dari rupa-rupa rasa buah-buahan hingga susu. “Jadi rasanya kayak makan saja.”
Sudah beberapa tahun terakhir “rokok uap” ini jadi tren. Kafe-kafe vape bermunculan. Ada yang menjadikan sedot uap ini sebagai pengganti rokok, tapi ada pula orang-orang baru, orang-orang yang tak pernah kenal rokok seperti Rifqi. Fadli Jamal Mahfudz misalnya. Sebelum kenal vape, Jamal juga bukan perokok. Semula dia hanya doyan shisha. Sejak dua tahun lalu, Jamal pilih beralih ke vape.
Lain pula cerita Yuda Wahyono. Dia sudah “tobat” dari rokok. Dulu, mulutnya asam jika tak kena asap rokok. Dalam sehari, paling tidak dua bungkus rokok dia tandaskan. Sejak dua tahun lalu, Yuda “pindah ke lain hati”. Dia berhenti merokok dan jadi “pengisap uap”.


Foto: Rengga Sancaya/detikcom
Nge-vape itu kan makin asik kalau rame-rame.”
Lantaran alat dan cairan masih susah didapatkan, harganya pun mahal, Yuda sempat putus mengisap uap. “Sekarang enak, toko vape banyak banget dan harganya terjangkau. Dulu beli bodi doang bisa Rp 2 juta. Saya pakai cairan buatan Malaysia, harganya Rp 250 ribu dengan volume hanya 30 mililiter…. Tak sampai seminggu habis,” kata Yuda. Sekarang, dengan duit Rp 150 ribu, dia sudah bisa mendapatkan cairan dengan kualitas setara
Kisah Rangga Bayu Triachyani, mahasiswa Universitas Swiss German di Serpong, Tangerang Selatan, sama dengan Yuda. Dia pilih menyedot uap untuk menggantikan asap rokok. Sejak duduk di bangku SMA, Rangga memang kenal rokok. Setelah dua tahun kenal vape, dia tak lagi doyan asap rokok.

Suasana di East Side Vape Store milik Rifqi Akbar Garibaldi di Pondok Kopi, Jakarta Timur.
Foto: Rengga Sancaya/detikcom
“Sekarang, cium bau asap rokok saja saya sudah pusing. Kalau cium vape kan wangi dan dingin,” katanya. Untuk sedot uap, Rangga punya anggaran khusus, sekitar Rp 1,5 juta per bulan. “Bujet beli cairan Rp 500 ribu…. Kalau alat, saya lihat harga dulu. Kalau di atas Rp 1 juta, saya pikir-pikir dulu. Alat kan enggak harus beli setiap saat.”
Serupa dengan rokok, bagi sebagian orang, sedot uap beraroma buah ini sudah jadi gaya hidup. Demi gengsi, ada orang-orang yang tak sayang beli perangkat vape bersepuh emas. Harganya bisa setara dengan sepeda motor, bahkan mobil. “Alat itu dianggap bisa menaikkan gengsi mereka,” kata Rifqi. Bagi pengisap uap, juga sekaligus pedagang alat dan cairan vape seperti Rifqi, soal gengsi-gengsian ini tentu jadi sumber rezeki.
Di toko miliknya, East Side Vape Store di Jalan Pondok Kopi, Jakarta Timur, tak tua tak muda, tak malam tak siang, para pengisap uap itu berkumpul. Makin malam justru makin panas. Dari balik kaca transparan, tampak anak-anak muda tengah asik berbincang mengenai jenis likuid atau cairan baru. Ada pula yang sedang memainkan perangkat vaporizer-nya.

Toko yang menyediakan keperluan untuk nge-vape.
Foto: Rengga Sancaya/detikcom
Bisnis vape memang sedang hot. Sudah setahun Rifqi membuka toko. Simpang-siur soal efek negatif vape tak membuat penjualan alat dan cairan di tokonya surut. Dalam sehari, Rifqi mengklaim bisa menggaruk penjualan hingga Rp 25 juta.
Begitu pintu dibuka, hidung segera menghirup aroma harum buah bercampur susu. Dua jenis rasa cairan ini memang jadi primadona di kalangan pengguna vaporizer. “Nge-vape itu kan makin asik kalau rame-rame,” ujar Rifqi, yang juga berprofesi sebagai guru bahasa Jepang di salah satu SMA Negeri di Jakarta.
Reporter/Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban
Rubrik Metropop mengupas kehidupan sosial, seni, dan budaya masyarakat perkotaan.