METROPOP

Anak Bangka dan Stephen Hawking

“Beberapa karya di luar perkiraan kami, bahkan kami sering berpikir, 'Ih, anak ini jenius.’ Terbukti, saat dibawa ikut lomba internasional, anak-anak ini menang.”

Shofi Latifah Nuha Anfaresi (kiri) dan Intan Utami Putri
Foto: Rachman Haryanto/detikcom

Jumat, 7 Oktober 2016

Saat masih kanak-kanak, siapa tak jeri dengan angka dan matematika? Bahkan Stephen Hawking pun pernah jadi anak malas dan tak tertarik dengan pelajaran sekolah, termasuk matematika.

Dikran Tahta, guru matematika di SMA Negeri St. Albans, Hertfordshire, adalah orang yang membuka mimpi Hawking, mimpi yang menjadikannya fisikawan paling kondang di dunia hari ini. Sebelum bertemu dengan Dikran, Hawking hanyalah murid biasa, bahkan nilai-nilai di sekolahnya agak payah.

“Tulisanku buruk dan aku seorang pemalas. Guru-guru di sekolah membosankan. Tapi tidak Pak Tahta,” Hawking, dikutip BBC, menuturkan masa-masa sekolahnya. Dikran, guru keturunan Armenia itu, benar-benar asyik. “Dia membuat kelas jadi lebih hidup dan menyenangkan. Semua hal boleh kami debat…. Bersama-sama, kami merakit komputer pertama kami.”

Shofi Latifah Nuha Anfaresi bukan anak kota besar yang punya akses ke segala hal. Dia lahir dan tumbuh besar di Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tapi murid SMA Negeri 1 Sungailiat itu punya mimpi menonjok langit: suatu saat nanti Shofi ingin namanya ada di daftar pemenang Hadiah Nobel. Siapa yang tahu?

Shofi Latifah Nuha Anfaresi dan Intan Utami Putri di laboratorium
Foto: dok pribadi

Bukulah yang membuka jendela dunia Shofi. Semenjak Shofi bisa memahami arti kata, kedua orang tuanya telah menyuguhkan begitu banyak bacaan. Mulai buku penuh gambar warna-warni sampai buku tentang atom dan molekul juga dilahapnya. Kini Shofi telah menjelma menjadi sosok kutu buku. Tak sehari pun dia lewatkan tanpa membaca buku. “Kata Ayah, kalau sehari saja enggak baca buku, sehari itu juga kamu tak dapat ilmu,” ujar Shofi.

Saya sudah pergi ke beberapa pantai di Bangka Belitung, ternyata warna airnya jadi keabu-abuan."

Buku telah mempertemukan Shofi dengan Stephen Hawking, profesor lucasian di Universitas Cambridge, Inggris, jabatan yang sama dengan ilmuwan kondang Sir Isaac Newton. Sama seperti Hawking, ada beberapa nilai sekolah Shofi yang tak seberapa bagus. Tapi Shofi punya modal kunci jadi peneliti, yakni keingintahuan yang besar.

Sejak kecil, gadis itu sudah menyimpan banyak pertanyaan. Apalagi kedua orang tua Shofi sering melakukan penelitian di area lahan bekas tambang. Shofi kerap diajak mengunjungi wilayah pascapenambangan. Ia merasa prihatin terhadap keadaan lahan yang telah rusak akibat penggalian timah. “Kalau kamu lihat dari atas sewaktu naik pesawat, Pulau Bangka sudah bolong-bolong, sudah hancur,” dia menuturkan kepada detikX.

Shofi semakin terkejut ketika mengetahui pantai sebagai salah satu destinasi wisata turis juga terkena dampak penambangan bijih timah. Kapal isap pasir timah bisa dilihat dengan jelas dari bibir pantai. Kapal-kapal timah bersanding dengan kapal nelayan. Terumbu karang menjadi tercemar karena sedimen logam, ikan tidak sanggup bertahan hidup.

“Saya sudah pergi ke beberapa pantai di Bangka Belitung, ternyata warna airnya jadi keabu-abuan,” tutur Shofi. “Saya lahir dan besar di situ, tentu saya tidak rela melihat Bangka Belitung rusak.”

* * *

Shofi Latifah Nuha Anfaresi dan Intan Utami Putri saat menerima hadiah dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja ke-48 di Jakarta.
Foto: Rachman Haryanto/detikcom

Dalam hal ini, posisi Indonesia sama dengan Korea Selatan pada tahun 1945.”

Tri Nuke Pudjiastuti, Ketua Dewan Juri LKIR 2016

Di tengah jadwal padat sekolahnya mempersiapkan ujian nasional tingkat SMA tahun depan, Shofi ingin mencari solusi untuk masalah limbah tambang timah di laut lepas melalui penelitian. Atas saran guru pembimbingnya di SMA Negeri 1 Sungailiat, Shofi mengajukan penelitian perdananya untuk diperlombakan dalam ajang Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) ke-48 yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Shofi juga menggandeng temannya, Intan Utami Putri, untuk melakukan penelitian.

Karena fasilitas laboratorium sekolahnya tidak memadai untuk melakukan penelitian, Shofi dan Intan harus sering bolak-balik ke laboratorium di Universitas Bangka Belitung. Sepulang sekolah, Shofi dan Intan menumpang angkutan kota untuk menguji material limbah di laboratorium. Selepas magrib, keduanya baru pulang ke rumah dan mengerjakan tugas sekolah.

Shofi memang kurang jago dalam pelajaran kimia, dan hal itu jadi hambatan dalam penelitian. Tapi dia pantang menyerah. Itu sebabnya, ia rela ke Jakarta untuk berdiskusi langsung dengan sang mentor. Karena Shofi diajari langsung dengan praktek, ia merasa lebih cepat paham.

“Kalau belajar biasa di sekolah melihat guru kok kayaknya kurang nangkep. Saya lebih suka ada masalah, lalu dicari solusinya. Karena saya merasa bertanggung jawab sudah kasih ide, saya ke Jakarta beberapa kali,” ujarnya. Dia terpaksa menguras isi tabungannya untuk ongkos terbang ke Jakarta.

Selama masa penelitian, Shofi dan Intan bekerja sama dengan PT Timah Tbk untuk melakukan observasi dan mengambil sampel di area penambangan timah. Menurut pengamatan mereka, PT Timah memang telah melakukan beberapa upaya konservasi untuk area yang ditambang, salah satunya dengan membuat karang buatan.

Shofi Latifah Nuha Anfaresi dan Intan Utami Putri
Foto : dok pribadi

Namun upaya itu belum cukup karena karang akan kembali tertutup sedimen logam. “Mereka ada usaha, tapi tidak tampak pengaruhnya. Makanya kami berniat memberi solusi yang lebih mudah dikerjakan,” kata Shofi. Dari hasil penelitiannya, Shofi menemukan fakta bahwa pasir di laut Bangka yang mengandung timah dan silika bisa menyerap logam berat timbal (Pb) dari sedimen pertambangan.

Penelitian Shofi dan Intan diganjar juara ketiga di bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian. Bukan hanya Shofi yang tak percaya, bahkan teman-temannya yang mendengar kabar tersebut terkejut bukan main. “Iya, bahkan teman saya juga kaget, mereka bilang kepada saya, ‘Kamu yang kayak begini bisa menang juara 3?’” kata Shofi, diiringi tawanya berderai.

Meski telah menyabet juara, Shofi belum puas. Ia merasa penelitian yang dilakukan masih jauh dari kata sempurna. Shofi ingin melanjutkan penelitian dan bekerja sama dengan ahli di bidang ini sehingga penelitian tak sekadar dalam teori saja, tetapi juga bisa diaplikasikan serta memberi dampak positif kepada orang lain.

Anak-anak seperti Shofi ini ada banyak di Indonesia. Mereka punya bakat dan punya mimpi besar. “Anak-anak sekarang inovasinya luar biasa,” Tri Nuke Pudjiastuti, Ketua Dewan Juri LKIR 2016 dan Deputi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI , mengacungkan jempol.

Bahkan beberapa karya anak-anak Indonesia ini sering membuat juri terenyak. “Beberapa karya di luar perkiraan kami, bahkan kami sering berpikir, ‘Ih, anak ini jenius.’ Terbukti, saat dibawa ikut lomba internasional, anak-anak ini menang,” kata Tri Nuke. Tapi, apa boleh buat, riset sains dan teknologi masih jadi barang mewah di negeri ini. Alat penelitian minim, dana juga pas-pasan. “Sains dan teknologi belum menjadi fondasi pembangunan bangsa. Dalam hal ini, posisi Indonesia sama dengan Korea Selatan pada tahun 1945.”


Reporter: Melisa Mailoa
Penulis/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim

Rubrik Metropop mengupas kehidupan sosial, seni, dan budaya masyarakat perkotaan.

SHARE