METROPOP
“Suami saya yang seratus persen warga negara asing bisa menjadi WNI jauh lebih mudah.”
Gloria Natapradja Hamel di antara anggota Paskibraka yang lain
Foto: Ikhwanul Habibi/detikcom
Jumat, 23 September 2016Sudah satu tahun Ike Farida mengupayakan jalan bagi anak pertamanya, Alya Hiroko, agar bisa berbendera Merah-Putih, menyandang status warga negara Indonesia. Namun usahanya tak kunjung membuahkan hasil.
Putri sulungnya itu lahir dan tumbuh di Indonesia, tapi menyandang status warga negara asing. Suami Ike, S. Oni, merupakan warga negara Jepang. Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958 mewajibkan Alya mengikuti kewarganegaraan sang ayah. Sejak UU Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006 lahir, perempuan berusia 19 tahun ini juga kehilangan kesempatan memiliki kewarganegaraan ganda terbatas karena pemerintah Jepang tidak mengizinkan warganya memiliki dua kewarganegaraan.
Seharusnya tidak ada pasal itu karena bertentangan dengan konstitusi.”
Hanya tinggal satu jalan bagi Alya untuk berbendera Merah-Putih, yakni melewati proses naturalisasi. Tapi proses naturalisasi, kata Ike, tak semudah yang dibayangkan. Beberapa persyaratan menyulitkan proses mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Misalnya saat anak mendaftarkan diri harus memiliki surat keterangan bekerja. Bagaimana caranya mendapatkan surat keterangan bekerja jika sang anak masih bersekolah?
Bagi Ike, yang paling tidak masuk akal adalah permintaan surat pelepasan kewarganegaraan Jepang. Padahal Negara Matahari Terbit tidak mengenal prosedur pelepasan kewarganegaraan. Syarat inilah yang membuat proses pengajuan kewarganegaraan RI anaknya menemui jalan buntu.
“Anak saya diminta membuat surat pernyataan bahwa dia bukan warga negara Jepang lagi. Kemudian saya tanya, ‘Pak, kalau sudah ada surat pelepasan kewarganegaraan, apakah yakin diterima jadi WNI?’” kata Ike. Ini yang bikin dia bingung. “Dia jawab, ‘Belum tentu, Bu.’ Kalau kemudian tidak diterima, bagaimana? Anak saya jadi stateless, tanpa negara.”
Gloria di kediamannya
Foto: Grandyos Zafna/detikcom
Makin tinggi mobilitas orang, makin mudah berkomunikasi, akan makin banyak pula perkawinan campuran beserta anak-anak “campuran”. Menurut survei EuroStat di 30 negara pada tahun 2010, satu dari 12 pernikahan di negara Eropa melibatkan pasangan berbeda kewarganegaraan. Bahkan di Swiss, angka pernikahan transnasional ini lebih tinggi lagi, yakni satu dari lima pernikahan.
Dua tahun lalu di Singapura, lebih dari sepertiga pernikahan yang tercatat di negeri jiran tersebut melibatkan pasangan beda kewarganegaraan. Setiap negara ini punya prosedur dan dilemanya sendiri dalam hal status anak hasil pernikahan lintas batas negara ini.
Ike Farida, sarjana hukum dari Universitas Indonesia, merasa anak perkawinan campuran di Indonesia diperlakukan tidak adil. Meski telah menganggap sebagai warga negara asing, pemerintah seharusnya mengakui bahwa anak perkawinan campuran juga memiliki darah Indonesia. Proses naturalisasi anak buah perkawinan campuran mestinya tak disamakan dengan warga negara asing.
Video: 20detik
Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi mengangkat Gloria menjadi duta Kementerian Olahraga.
Foto: Rengga Sancaya/detikcom
Akibatnya anak seperti Alya harus membayar Rp 50 juta untuk naturalisasi. Ike membandingkan dengan WNA yang menikah dengan WNI. Melalui prosedur naturalisasi, mereka dikenai ongkos jauh lebih kecil, Rp 2,5 juta. “Sekarang bayangkan saja, anak saya yang punya darah separuh Indonesia tidak semudah itu menjadi WNI. Sedangkan suami saya yang seratus persen warga negara asing bisa menjadi WNI jauh lebih mudah,” tutur Ike.
Dari pernikahannya dengan S. Oni, Ike memiliki tiga anak: Alya, 20 tahun, Rana Keiko (18), dan Anwar Takeshi (16). Dosen di Universitas Hitotsubashi, Jepang, ini mengatakan banyak anak hasil perkawinan campur yang tidak bisa mendaftarkan status WNI. Seperti kasus Gloria Natapradja Hamel. Anak-anak seperti Gloria hanya diberi waktu empat tahun untuk mendaftar sebagai WNI.
Padahal, banyak hal yang membuat pasangan kawin beda negara tak paham bahwa ada batas waktu pendaftaran. “Tidak semua tinggal di kota. Ada yang tinggal di daerah terpencil, ada juga yang tinggal di luar negeri. Jadi seharusnya tidak ada pasal itu karena bertentangan dengan konstitusi,” katanya.
Ike Farida
Foto: Grandyos Zafna/detikcom
Peliknya proses menjadi warga Merah-Putih membuat Anwar, anak bungsu Ike, melupakan cita-cita menjadi prajurit TNI. Permohonan Anwar menjadi murid SMA Taruna Nusantara di Magelang ditolak lantaran dia masih tercatat sebagai warga negara Jepang. Padahal sekolah ini dapat menjadi batu loncatan Anwar untuk masuk ke Akademi Militer.
Reporter/Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban
Rubrik Metropop mengupas kehidupan sosial, seni, dan budaya masyarakat perkotaan.