Ilustrasi : Edi Wahyono
Gelombang protes mewarnai eksekusi Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang penyelenggara sistem elektronik (PSE). Terlebih saat PayPal, Steam, Dota, CS Go, Yahoo, Origin.com, dan epicGames diblokir sementara oleh pemerintah, 31 Juli 2022.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate mengatakan tidak relevan lagi mempertanyakan permen yang berlandaskan UU ITE dan PP No 71 Tahun 2019 tersebut. Sebab, berbagai payung hukum tersebut terbit dan berlaku dengan menyerap masukan dari berbagai unsur masyarakat.
"Kalau pasal, saya sudah tidak bahas lagi sekarang. Sekarang mau dibahas pasalnya lagi untuk apa? Kalau ditanya sekarang, kan sudah jadi pasalnya, sudah diterapkan pasalnya," ucap Johnny saat ditemui tim detikX di ruang kerjanya, Jumat, 5 Agustus 2022.
Melalui berbagai aturan tersebut, kata Johnny, Kominfo memiliki tiga fungsi utama, yaitu mengatur pendaftaran PSE, moderasi konten digital, dan fungsi pengawasan, termasuk yang berkaitan dengan tindak pidana. Jika ada protes terkait hal itu, seharusnya dilayangkan ke PSE yang bersangkutan.
Protes ke Kominfo PayPal Diblokir, Senin (1/8/2022).
Foto : Adi Fida Rahman/detikinet
Kita tidak tahu untuk pengawasan seperti apa. Toh, kita belum ada UU data pribadi. Tidak ada jaminan perlindungan soal data yang diminta dan akan dikemanakan setelah diminta."
Johnny juga menyarankan agar masyarakat yang keberatan dan merasa Permen yang berlaku tidak sesuai melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, jika protes dari masyarakat disampaikan dua tahun lalu, pihaknya akan mengikuti mekanisme yang ada untuk menerima keberatan tersebut.
"Ada mekanisme di negara kita ini. Jangan tanya sama saya, ikuti mekanismenya saja. Kenapa diributkan begini?" kata Johnny meradang.
Menurutnya, upaya pemerintah memaksa para PSE mendaftar adalah untuk melindungi hak-hak masyarakat Indonesia. Melalui aturan tersebut, pemerintah mengklaim dapat lebih menjamin keamanan dan hak-hak masyarakat dalam mengakses layanan PSE.
"Saat ini yang terjadi, dibenturkan antara pemerintah dan masyarakat. Lo, pemerintah kan melaksanakan amanat peraturannya untuk melindungi masyarakat. Kalau PSE tidak melaksanakan kewajibannya, dia merugikan masyarakat, tapi kenapa pemerintah yang diserang?" ujarnya.
Johnny menuturkan pemerintah menjamin perlindungan data pribadi. Hal ini termasuk data pribadi spesifik yang boleh diminta penegak hukum kepada PSE sesuai Pasal 36 ayat 5 Permenkominfo No 5 Tahun 2020, misalnya terkait orientasi seksual dan pandangan politik.
"Sekali lagi, yang terkait substansi, saya tidak baca, dan jangan ditanyakan lagi. Orientasi seksual dan pandangan politik, dan data-data yang spesifik, harus dijaga. Itu tugas PSE," ungkapnya.
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Safenet Nenden Sekar Arum mengatakan aturan yang dibuat Kominfo tersebut terlalu longgar. Dengan itu, ada celah dan peluang bagi pemegang otoritas untuk dapat mengakses dan mengawasi data spesifik pengguna PSE. Hal itu juga diperparah oleh tidak adanya lembaga independen yang ditunjuk untuk mengawasi Kominfo dalam menjalankan regulasi tersebut.
Menurut Nenden, permen tersebut sudah bermasalah sejak pembentukannya. Dia melihat Kominfo tidak banyak melibatkan masyarakat, sehingga aturan yang dihasilkan seolah hanya untuk pemerintah dan PSE. Sementara itu, hak-hak dan kerugian konsumen PSE tidak diperhitungkan dalam aturan yang saat ini telah berlaku. Bahkan, dalam Permenkominfo 5/2020, ditemukan 65 kata kunci ‘pemutusan akses’, baik yang dimaknakan sebagai access blocking maupun take down.
"Banyak pasal karet. Kewenangannya juga melebihi UU ITE. Di UU, pemblokiran itu melalui pengadilan, di permen ini bisa diblokir hanya karena tidak daftar. Soal daftar atau tidak, ini bahkan tidak diatur di UU," ujar Nenden.
Pasal 21 ayat 1 misalnya, kata Nenden, tidak menjelaskan bahwa akses data dan dokumen elektronik harus melalui pengadilan. Akses data melalui pengadilan hanya untuk data pribadi yang spesifik. Selain itu, menurutnya, term pengawasan di permen tersebut memiliki makna yang sangat luas.
"Kita tidak tahu untuk pengawasan seperti apa. Toh, kita belum ada UU data pribadi. Tidak ada jaminan perlindungan soal data yang diminta dan akan dikemanakan setelah diminta," jelas Nenden.
Ilustrasi Penyelenggara Sistem Elektornik (PSE) Lingkup Privat.
Foto : Agus Tri Haryanto/detikINET
LBH Jakarta membuka Pos Pengaduan #SaveDigitalFreedom. Tujuannya, menampung keluhan masyarakat yang, menurut mereka, dirugikan akibat pemblokiran sewenang-wenang maupun represi kebebasan di ranah digital akibat pemberlakuan Permenkominfo 5/2020. Dalam sepekan, sudah ada 213 pengaduan masuk, terdiri atas 211 individu dan 2 perusahaan.
Rincian dari aduan tersebut, 194 pengadu menjelaskan permasalahan dampak kebijakan, sedangkan 18 sisanya berupa dukungan, protes kebijakan, hingga pertanyaan hukum. Hanya 62 pengadu yang melampirkan bukti kerugian yang diestimasi mencapai Rp 1.556.840.000. Adapun masalah yang paling banyak diadukan terkait dampak pemblokiran PayPal, yang mencapai 64 persen.
LBH Jakarta menuntut Kominfo mencabut Permenkominfo 5/2020. Sebab, aturan itu dianggap melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi, melanggar hak untuk berkomunikasi serta memperoleh informasi, dan melanggar hak atas privasi.
"Permenkominfo 5/2020 tidak memiliki legitimasi yang sesuai dengan standar dan mekanisme pembatasan HAM untuk melakukan pemblokiran situs internet dan aplikasi," kata pengacara LBH Jakarta Teo Reffelsen melalui keterangan tertulisnya.
LBH Jakarta menilai pemerintah bersama DPR seharusnya berfokus pada upaya melindungi data pribadi warga negara dengan mempercepat proses legislasi RUU Perlindungan Data Pribadi, bukan justru membuat kebijakan-kebijakan otoriter yang tidak didasarkan pada kepentingan utama masyarakat.
"Padahal banyaknya kasus kebocoran data pribadi yang dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu, misalnya dalam kasus pinjaman online, seharusnya cukup untuk membuat pemerintah menentukan prioritasnya demi menciptakan tata kelola dan ekosistem perlindungan data pribadi yang komprehensif dan protektif," ujarnya.
Ditjen Aptika Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan tujuh PSE yang diblokir telah melakukan kontak dengan Kominfo dan dianggap memiliki niat baik untuk segera mendaftar. Karena itu, Kominfo memutuskan membuka blokir dari PSE tersebut.
Dia menjelaskan, PSE-PSE tersebut sudah diberi tahu sejak 2020 dan diberi tenggat hingga Oktober untuk mendaftar. Bahkan tenggat pendaftaran juga diputuskan untuk diperpanjang hingga Juli 2022. Namun PSE-PSE tersebut tidak kunjung mendaftar dan akhirnya diblokir oleh pemerintah.
"Ya, kita kan sudah hukum mereka, kemarin kan sudah kita blok, terus mereka kontak. Mereka minta maaf, niat baik harus kita hargai. Kita kasih waktu, nih. Silakan segera daftarin. Kalau nggak, ya kita tegakkan," jelas Semuel kepada tim detikX, Rabu, 3 Agustus 2022.
Dirjen Aptika Kominfo Semuel Pangerapan menjelaskan terkait PSE, Munggu (19/7/2022)
Foto : Agus Tri Haryanto/detikcom
Menurut Semuel, walaupun menuai banyak protes dari berbagai pihak, Kominfo mengaku tidak akan mencabut Permen No 5 Tahun 2020. Namun Kominfo mengaku terbuka terhadap masukan dan siap melakukan revisi pada aturan tersebut bila dianggap perlu.
Adapun terkait SE atau platform judi yang sebelumnya terdaftar kini telah di-suspend oleh Kominfo. Menurut Semuel, 16 platform judi tersebut sebelumnya hanya sebagai gim biasa, sehingga diloloskan.
"Ada yang kami blok, ada yang kami minta klarifikasi. Satu kami minta klarifikasi karena dia ada di Indonesia, jadi dia akan kami panggil dalam waktu dekat ini. Sementara yang 15 kami blokir dulu untuk mereka melakukan klarifikasi karena ketika mereka mendaftar itu permainan," jelas Semuel.
Reporter: May Rahmadi, Rani Rahayu, Ahmad Thovan Sugandi, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban