INVESTIGASI

Budaya Eksploitasi Anak Magang

Aturan-aturan pemagangan di Indonesia belum melindungi hak-hak pemagang berstatus pelajar. Celah hukum ini kerap dimanfaatkan untuk mengeksploitasi anak magang.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Selasa, 9 November 2021

Kasus buruknya perlakuan terhadap pekerja magang di Campuspedia membuka permasalahan lama: adanya kekosongan hukum. Itulah sebabnya, meski CEO Campuspedia Akbar Maulana telah mengakui kekurangan sistem magang, tak ada sanksi dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).

Direktur Pemagangan Kemenaker Ali Hafsah menuturkan kasus ini sebenarnya tidak menjadi perhatian Kemenaker meskipun ditemukan berbagai kejanggalan, seperti 14 orang didenda Rp 500 ribu karena resign, jam kerja tak menentu, beban kerja layaknya pegawai tetap, sampai tidak adanya asuransi kesehatan.

“Sehingga dalam konteks ini sebenarnya kurang relevan dengan concern kami,” ungkap Ali dalam siaran persnya, Sabtu, 30 Oktober 2021.

Mendikbudristek Nadiem Makarim rapat bareng Komisi X DPR.
Foto : Andhika Prasetia/detikcom

Sebab, kata Ali, pemagangan, yang diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2020, hanya menyasar para pencari kerja dan pekerja untuk meningkatkan kompetensinya.

Makanya, perusahaan kayak Campuspedia ‘semena-mena’, ya manfaatin (kekosongan hukum) saja. Ceritanya kan gitu karena belum ada aturan yang saklek.”

Kepala Biro Humas Kemenaker Chairul Fadly Harahap menjelaskan Permenaker Nomor 6 Tahun 2020 hanya mengatur hak-hak pemagang yang sudah lulus dari jenjang pendidikan. Ini hanya mengatur pemagangan dalam konteks pelatihan kerja. Sedangkan pemagangan dalam konteks pendidikan tidak masuk dalam naungan aturan tersebut.

Kemenaker hanya bisa meminta perusahaan-perusahaan yang menerima pemagang berstatus pelajar menerapkan permenaker tersebut. Namun, jika permintaan itu tidak diindahkan, Kemenaker tetap tidak bisa melakukan apa-apa, apalagi memberikan sanksi atau hukuman.

“Saya pikir kami (Kementerian) Ketenagakerjaan, fokus kami seperti itu. Kami nggak mau mencampuri konteks yang menyebar di luar ini (kewenangan) kami,” ungkap Chairul kepada detikX.

Wakil Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia I Dewa Gede Karma Wisana menilai tidak ada yang salah dengan pernyataan dua pejabat Kemenaker tersebut. Sebab, aturan-aturan pemagangan yang ada sekarang, baik Permenaker Nomor 6 Tahun 2020 maupun UU Nomor 13 Tahun 2003, memang tidak menyinggung hak-hak pemagang berstatus pelajar.

Kedua aturan ini, kata Wisana, hanya menyebut pemagang yang bisa mendapatkan haknya—termasuk hak uang saku, jaminan sosial, kesehatan, dan keselamatan—adalah mereka yang berstatus sebagai pencari kerja dan pekerja yang hendak meningkatkan kompetensinya. Dalam konteks ini, menurut Wisana, masih terdapat kekosongan hukum untuk menyikapi kasus-kasus dugaan eksploitasi yang terjadi pada pemagang berstatus pelajar.

“Makanya, perusahaan kayak Campuspedia ‘semena-mena’, ya manfaatin (kekosongan hukum) saja. Ceritanya kan gitu karena belum ada aturan yang saklek,” jelas Wisana kepada detikX pekan lalu.

Wisana menuturkan pemagang berstatus pencari kerja dan pekerja yang ingin meningkatkan kompetensinya disebut apprenticeship. Lalu pemagang berstatus pelajar disebut internship. Dua pemaknaan yang berbeda ini belum pernah dibahas secara detail oleh Kemenaker serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek).

“Sejauh yang saya tahu, saya belum pernah dengar ada diskusi, ada webinar-lah, seminarlah untuk mendefinisikan itu,” ungkap Wisana.

Senada dengan Wisana, dosen hukum ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada Nabiyla Risfa Izzati mengatakan aturan yang ada sekarang memang belum mampu mendefinisikan secara gamblang terkait kriteria pemagang.

Perbedaan definisi ini, menurut Nabiyla, mestinya menjadi perhatian khusus dua kementerian, yakni Kemenaker dan Kemendikbud-Ristek. Kedua kementerian tersebut perlu menggodok ulang aturan-aturan yang ada untuk menyamakan persepsi terkait konteks pemagangan. Sebab, dalam perjalanannya, konteks pemagangan berkembang, dari yang sebelumnya hanya soal pelatihan kerja menjadi pendidikan dengan konsep pengembangan kompetensi berbasis industri.

Pengembangan definisi pemagangan ini juga sebetulnya tidak lepas dari strategi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim, yang mendorong para pelajar, khususnya mahasiswa, menjalankan pendidikan di luar kampus. Nadiem pada 2020 meminta berbagai universitas di Indonesia menjalankan program pendidikan berbasis kebutuhan industri paling sedikit satu semester.

Tujuannya, menurut Nadiem, agar lulusan-lulusan baru di Indonesia memiliki kompetensi yang siap dan layak bersaing di dunia industri. Meski tidak diwajibkan oleh Nadiem, banyak universitas yang kini telah menjadikan pemagangan di perusahaan sebagai salah satu syarat mendapatkan ‘tiket’ kelulusan.

Sayangnya, ambisi Nadiem itu tidak didampingi dengan kebijakan yang melindungi hak-hak pemagang berstatus pelajar. Mestinya, kata Nabiyla, pemerintah mulai memikirkan batasan-batasan dan kompensasi apa saja yang tidak boleh diberikan dan yang harus didapatkan para pemagang. Misalnya batasan waktu kerja dan skema pemberian uang saku yang disesuaikan dengan beban kerja pemagang.

“Apabila tidak ada ketentuan ini, pintu eksploitasi akan sangat terbuka lebar,” tegas Nabiyla.

Menanggapi pernyataan itu, Pelaksana Tugas Dirjen Dikti Kemendikbud-Ristek Nizam mengatakan hak dan kewajiban pemagang berstatus pelajar sudah diatur dalam Permenaker Nomor 6 Tahun 2020 dan UU Nomor 13 Tahun 2003. Namun, ia mengakui, dua aturan tersebut tidak membedakan antara internship dan apprenticeship. Nizam berjanji bakal menggelar dialog dengan Kemenaker untuk membicarakan lebih lanjut terkait aturan tersebut.

“Akan kami koordinasikan dengan Kemenaker agar peraturan ke depan bisa lebih inklusif sesuai dengan kebutuhan,” terang Nizam kepada detikX melalui pesan singkat, Kamis, 4 November 2021.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud-Ristek Wikan Sakarinto mengatakan hak dan kewajiban pemagang dalam kontes pelatihan kerja lapangan (PKL) bagi pelajar sekolah menengah kejuruan telah diatur dalam Permendikbud Nomor 50 Tahun 2020.

Aturan-aturan dalam Permendikbud itu, kata Wikan, diejawantahkan dalam dua pedoman teknis, yakni pedoman PKL dalam negeri dan luar negeri. Dalam pedoman teknis itu disebutkan bahwa kegiatan PKL mesti diawasi dan dievaluasi langsung oleh pihak sekolah. Pedoman ini juga mengatur soal pemberian uang saku bagi peserta PKL. Namun skemanya mesti disesuaikan kembali dengan kebijakan perusahaan. Dalam kata lain, pemberian uang saku itu tidak diwajibkan.

Ilustrasi hukum
Foto : Detikcom

“Jika program PKL dijalankan sesuai dengan pedoman penyelenggaraan PKL, seharusnya tidak akan terjadi eksploitasi terhadap peserta didik karena bentuk program PKL sudah disepakati antara pihak SMK dan pihak dunia kerja,” jelas Wikan kepada detikX melalui pesan singkat.

Di sisi lain, peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Fathimah Fildzah Izzati memandang opsi pemberian uang saku kepada pemagang justru merupakan celah eksploitasi yang dapat dimanfaatkan perusahaan. Tidak adanya kewajiban memberi upah kepada pemagang kerap dimanfaatkan perusahaan untuk mendapatkan tenaga kerja murah. Bahkan, dalam sejumlah kasus, pemagang kerap dipekerjakan selayaknya pekerja pada umumnya tanpa diberi upah sama sekali.

Karena itu, menurut Fildzah, penting bagi pemerintah untuk membuat aturan yang juga melindungi hak-hak pemagang. Tujuannya agar, kelak, misi dan visi program magang juga bisa tercapai sesuai dengan rencana. Di samping itu, pemagang bisa mendapatkan kompensasi yang layak atas tenaga yang telah mereka curahkan untuk perusahaan.

Fildzah merekomendasikan upah yang selayaknya diterima pemagang setara dengan upah minimum regional (UMR).

“Seharusnya diberi gaji yang layak, upah yang layak, meskipun hanya sementara. Jangan sampai, atas nama belajar, malah dieksploitasi gitu,” pungkas Fildzah.


Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto, Syailendra Hafiz Wiratama
Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE