Ilustrasi : Edi Wahyono
Sudah lima bulan Ferdi—bukan nama sebenarnya—menjalani magang di perusahaan rintisan bidang teknologi atau biasa dikenal dengan istilah start-up bernama Campuspedia. Dia mengalami ketidakpastian jam kerja. Dia pernah bekerja sampai dini hari dan hanya dibayar Rp 100 ribu per bulan.
“Aku pernah rapat sampai jam 1 atau 2 pagi untuk ngurusin proyek Campuspedia ini,” ujar Ferdi kepada detikX.
Permasalahannya, dalam surat perjanjian kerja jangka waktu tertentu (PKWT), hanya diatur harus bekerja 20 jam per minggu. Namun tak ada detail jam kerjanya.
“Cuma, yang mereka targetkan per hari itu kerja 5 jam sehingga, kalau satu minggu, itu 20 jam,” tuturnya.
Kemenaker sidak Campuspedia.
Foto : detikcom
Total belasan (yang kena penalti), uangnya sudah dikembalikan kepada empat orang. Yang lain masih proses pencarian data. Kalau yang empat, kita punya data nama, nomor rekening, semuanya. Sisanya punya namanya, kita belum punya nomor rekening. Intinya masih proses.”
Dalam aturan lain, Campuspedia meminta pekerja magang bekerja selama 5 jam di kantor atau 10 jam jika dilakukan secara jarak jauh work from home. Ini membuat para pekerja magang menghabiskan waktu di depan laptop untuk mengurus proyek dari kantor.
“Aku kadang sampai kehilangan waktu buat interaksi sama orang di rumah,” ujarnya.
Bahkan Ferdi pernah tetap bekerja secara jarak jauh atau remote meski sedang terjangkit virus COVID-19. Dia diminta tetap mengikuti rapat mingguan.
“Aku sempat kena COVID gitu, kirain bakal disuruh istirahat, malah ditanyain sama divisi HR-nya bisa ikut rapat mingguan apa tidak,” katanya. Dia mengaku terpaksa mengikuti rapat itu.
Dalam salah satu surat PKWT yang didapatkan detikX, Campuspedia mensyaratkan yang berhalangan kerja harus memberikan surat keterangan sakit dari rumah sakit. Lebih dari itu, setiap pekerja magang wajib mengganti jam kerja yang ia tinggalkan karena sakit tersebut. Ini otomatis akan menambah periode magang sesuai jam kerja yang ditinggalkan.
Untuk semua ini, Campuspedia menyediakan gaji yang mereka sebut sebagai fee sebesar Rp 100 ribu per bulan. Namun tetap ada embel-embel syarat, yakni memenuhi target dan jam kerja. Untuk jam kerja, tak ada detail aturan, begitu juga terkait target. Ferdi pernah dibebani target yang tak masuk akal.
“Aku pernah punya target peserta yang kurang realistis dan waktu pengerjaannya mepet banget. Misalnya, untuk target 1.000 itu, kami dikasih waktu cuma 3 minggu,” ungkapnya.
Pencarian seribu peserta itu untuk menyokong proyek perusahaan, seperti ajang virtual edu fair. Beban kerja yang Ferdi dapatkan semakin berat karena harus dilakukan saat pandemi COVID-19. Itu artinya ia harus memaksimalkan media sosial karena tak bisa melakukan safari langsung ke sekolah-sekolah.
Menurut Ferdi, ketika awal magang di Campuspedia, alur kerjanya cenderung landai. Namun, memasuki bulan ketiga, alur kerja mulai padat.
Pengalaman buruk juga dialami Rina—bukan nama sebenarnya. Pada saat magang di Campuspedia, ia ditugasi atasannya seolah-olah memata-matai perusahaan kompetitor. Pimpinannya di Campuspedia meminta Rina menyamar sebagai pihak kampus tempatnya berkuliah. Lalu berpura-pura menjadi klien perusahaan kompetitor agar mendapatkan pricelist, sistem kerja, atau yang lain.
“Jadi kami disuruh meriset terkait pricelist, bagaimana sistemnya, dan sebagainya itu, dan saya diminta membawa nama kampus saya, bukan nama perusahaan,” ujar Rina kepada detikX.
Sepinya Kantor Campuspedia yang gaji anak magang Rp 100 Ribu.
Foto : detikcom
Itu semua Rina lakukan karena ia tak bisa menolak perintah pemberi kerja dalam program magang. Namun ia merasa ini tindakan tercela. Dia mengaku seperti dimanfaatkan untuk kepentingan perusahaan semata.
“Kalau seperti ini kan jatuhnya kita disuruh bohong. Berbohong dengan dalih untuk kepentingan perusahaan,” tuturnya.
Ferdi dan Rina membenarkan terkait isu yang ramai diperbincangkan di media sosial soal upah anak magang sebesar Rp 100 ribu per bulan. Sedangkan pekerja magang yang mengundurkan diri akan dikenai sanksi, yakni biaya penalti Rp 500 ribu. Selain itu, mereka tak akan mendapatkan sertifikat dan didiskualifikasi dari seluruh program internship Campuspedia.
“Itu malah jatuhnya merendahkan kami sebagai anak magang,” tegasnya.
Bagi Rina, lebih baik tak ada embel-embel Rp 100 ribu per bulan tersebut karena kesannya merendahkan. Dia mengaku tak keberatan menjalani PKWT Campuspedia. Sebab, yang ia cari bukan uang, melainkan ilmu dan pengalaman kerja.
Menanggapi isu yang viral terkait Campuspedia, CEO Campuspedia Akbar Maulana langsung membuat keterangan persnya. Dia memohon maaf kepada seluruh pihak yang telah ia kecewakan. Bahkan dirinya mengaku sudah mengembalikan denda Rp 500 ribu yang sebelumnya mereka terima dari anak magang yang mengundurkan diri. Mereka menyebutnya sebagai pengembalian dana “resign”.
“Total belasan (yang kena penalti), uangnya sudah dikembalikan kepada empat orang. Yang lain masih proses pencarian data. Kalau yang empat, kita punya data nama, nomor rekening, semuanya. Sisanya punya namanya, kita belum punya nomor rekening. Intinya masih proses,” ujar Akbar Maulana saat ditemui detikcom di Pemkot Surabaya, Jumat, 29 Oktober 2021.
Namun, berdasarkan informasi susulan dari akun Twitter Campuspedia, pada 5 November, tercatat 14 pekerja magang yang membayar biaya penalti karena resign sebesar Rp 500 ribu. Kemudian ada satu pekerja magang yang hanya membayar Rp 100 ribu.
Ketika detikX ingin mengkonfirmasi terkait beberapa hal lainnya, soal sejumlah temuan kami, Akbar Maulana tidak merespons pesan singkat dan telepon hingga laporan ini dirilis.
Selain Ferdi dan Rina, ada Taufik yang melakukan magang di salah satu start-up e-commerce ternama. Ketika dihubungi detikX, Taufik mengaku pengalaman magangnya cukup berat di awal. “Mungkin kaget ya karena internship pertama, jadi itu kaget saja dibandingkan kuliah ya,” katanya.
Surat permohonan maaf Campuspedia.
Foto : Dok. Campuspedia
Semua perjanjian tertulis jelas di dalam kontrak, mulai jam kerja sampai benefit yang didapat. Bahkan dia mengaku, jika terjadi overtime magang, akan ada tambahan yang diberikan perusahaan.
Dia tidak memungkiri memang magang di tempatnya itu cukup berat. Beberapa kali ia lembur karena kerjaan yang menumpuk pada saat itu. Namun dia tidak terlalu mempermasalahkan terkait kerjaan atau jam kerja yang kadang cukup padat karena benefit yang diberikan perusahaan cukup masuk akal.
Kepada detikX, dia mengaku mendapat upah magang Rp 130 ribu per hari dengan jam kerja seperti karyawan pada umumnya, yaitu pukul 9 pagi hingga 5 sore. Taufik juga bercerita, setelah menjalani magang selama tiga bulan, dirinya langsung ditawari menjadi karyawan kontrak di perusahaan tersebut.
“Ya kalau ngomongin benefit di sini lumayan, ya. Walaupun kerjaan padat, saya dapat pengalaman dan upah yang layak ya buat transpor dan jajan-jajan,” ujarnya sambil bercanda.
Dosen hukum ketenagakerjaan UGM Nabiyla Risfa Izzati, saat dihubungi detikX, mengatakan seharusnya pekerja magang tetap dibayar layak. Sebab, harus dilihat, program pemagangan ini sama-sama menguntungkan, baik bagi peserta magang maupun bagi perusahaan. Pekerja magang mendapatkan pengalaman dan perusahaan mendapat tenaga kerja usia produktif. Jadi, menurutnya, jika ada ketidakseimbangan hak dan kewajiban di antara salah satu pihak, di situ ada potensi besar eksploitasi.
“(Jangan) digunakan untuk mengeksploitasi internship atau pemagangan mahasiswa yang sekarang banyak terjadi,” ujar Nabiyla.
Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto, Syailendra Hafiz Wiratama
Penulis: Syailendra Hafiz Wiratama
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban