Ilustrasi: Fuad Hashim
Senin, 18 Oktober 2021Titin Kartini, perempuan berusia 65 tahun, merupakan salah satu warga di pusat Ibu Kota yang menjadi miskin karena kebijakan pemerintah. Lebih dari dua dekade lalu, tempat tinggalnya, yang hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari Balai Kota DKI Jakarta, digusur. Hingga kini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum membayarkan biaya ganti rugi meskipun telah diperintahkan pengadilan.
Kini Titin dan sebagian dari 515 keluarga yang digusur tinggal di hunian kecil semipermanen yang berjajar di pinggir rel kereta, di pinggiran sungai kumuh, dan di tanah liar sekitar Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) Petamburan. Ada pula yang tinggal di tempat-tempat yang tak diperuntukkan sebagai hunian, seperti tangga dan lift rusun.
“Katanya, dulu, kami mau dapat uang Rp 10 juta dari pemerintah,” ujar Titin mengenang.
Kini Titin tinggal di hunian berukuran sekitar 4x6 meter. Letaknya di pinggir rel kereta dekat Rusun Petamburan. Kala siang bolong, terik matahari akan terasa menusuk masuk ke huniannya melewati sela-sela bangunan. Setiap kereta melintas, anginnya akan terasa menyepak huniannya yang rapuh.
Pada mulanya, Titin dan suaminya, E Ahmad, memiliki tanah seluas 58 meter persegi. Namun Pemprov DKI Jakarta menggusur Titin dan warga lainnya dengan dalih pembangunan proyek Rusunami Petamburan pada 1997, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 122 Tahun 1997.
Saat itu, warga tidak diberi opsi melakukan negosiasi. Lebih dari itu, mereka bahkan mendapat ancaman dari petugas Pemprov DKI Jakarta berupa kata-kata, “Mau tidak mau, cepat atau lambat, suka atau tidak suka, tempat ini akan digusur.”
Awalnya Pemprov DKI Jakarta hanya membayar ganti rugi tanah gusuran dengan ketentuan sepihak, tanpa negosiasi. Angkanya jauh di bawah nilai jual objek pajak (NJOP), sekitar Rp 200 ribu per meter persegi. Padahal seharusnya sekitar Rp 1 juta per meter persegi. Pemprov DKI Jakarta juga menjanjikan warga akan mendapatkan unit di Rusunami Petamburan, yang pembangunannya hanya butuh waktu setahun. Namun ternyata pembangunannya molor, memakan waktu sampai lima tahun.
Baca Juga : Menanti Janji Manis Anies Baswedan di Petamburan
Titin Kartini (kiri) bercerita tentang penggusuran akibat proyek Rusun Petamburan, di rumahnya, Selasa (12 Oktober 2021). Penggusuran itu membuat Titin kini harus menghuni bangunan liar di pinggir rel kereta.
Foto : Rani Rahayu/detikX
Walhasil, Titin dan suaminya terpaksa menggunakan uang ganti rugi tanah mereka untuk menyewa kontrakan, yang biayanya sekitar Rp 2 juta per tahun. Dengan demikian, biaya kontrak selama lima tahun berkisar Rp 10 juta.
Hidup terasa kian berat bagi mereka karena, tak berselang lama setelah digusur, tepatnya pada 1998, Indonesia mengalami krisis moneter. Krisis itu membuat nilai uang menjadi rendah, tetapi harga barang menjadi tinggi.
Titin dan ratusan warga lainnya kemudian membawa perkara penggusuran ini ke pengadilan. Dari pengadilan tingkat pertama pada 2003 sampai tingkat kasasi pada 2005, warga menang mutlak. Bahkan, pada 2014, upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali yang Pemprov DKI ajukan melalui Kepala Dinas Perumahan pun ditolak Mahkamah Agung.
Artinya, seluruh proses hukum menyatakan Pemprov DKI bersalah dan harus memberikan ganti rugi kepada para korban gusuran. Rincian ganti rugi yang diperintahkan pengadilan adalah memberikan uang Rp 10 juta per keluarga—jika dikonversikan ke nilai rupiah saat ini setara dengan sekitar Rp 73 juta. Total keseluruhan yang harus dibayar Pemprov DKI Jakarta ialah Rp 4,7 miliar. Angka ini untuk 473 keluarga.
Sialnya, setelah tujuh kali pergantian gubernur, sejak zaman Soerjadi Soedirdja hingga Anies Baswedan, Pemprov DKI belum bertanggung jawab atas perkara tersebut.
Kehidupan Titin dan ratusan warga berubah setelah Pemprov DKI Jakarta menggusur permukiman mereka. Bukan hanya kehilangan tanah dan rumah, mereka juga kehilangan penghasilan dan pekerjaan. Warga banyak yang bekerja sebagai pedagang sebelum traktor dan alat berat menghancurkan tempat tinggal mereka. Saat itu penghasilan rata-rata mereka adalah Rp 500 ribu per bulan. Mereka yang semula saling mengenal dan dekat pun mulai hidup terpisah akibat penggusuran.
Nasib Sugiantoro tak jauh berbeda dengan Titin. Penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta membuat laki-laki berusia 44 tahun ini terpaksa tinggal di hunian seukuran 4x6 meter di pinggiran sungai kumuh, dekat Rusunami Petamburan.
Bangunan-bangunan liar di pinggir sungai kecil yang kumuh di sekitar Rusun Petamburan menjadi tempat tinggal sebagian warga, Selasa 12 Oktober 2021.
Foto : Rani Rahayu/detikX
Hunian tersebut berjajar dua baris, berhadapan, di lorong yang minim cahaya. Tak ada kamar mandi pribadi di sana. Kalau ada nyala api membakar sebagian hunian, besar kemungkinan api itu akan merambat dengan cepat dan penghuninya kesulitan melarikan diri. Sugiantoro harus membayar Rp 600 ribu setiap bulan sebagai biaya sewa hunian tersebut.
Sugiantoro mengatakan hidupnya bersama keluarga cenderung berkecukupan sebelum mengalami penggusuran. Dia memiliki toko kelontong. Namun usaha itu tak lagi bisa ia teruskan karena penggusuran membuat dirinya dan keluarga harus pindah mencari kontrakan.
“Kalau buka warung baru di tempat lain, kan, pembelinya nggak jelas. Apalagi waktu itu ekonomi lagi susah,” kata Sugiantoro. Dia mengistilahkan pembelinya ‘jelas’ untuk konsumen yang loyal.
Kini Sugiantoro bekerja sebagai sopir. Penghasilannya tak seberapa. Belum lagi ia harus membayar sewa huniannya. Itu sebabnya, ia mengaku masih sangat berharap mendapatkan ganti rugi dari Pemprov DKI Jakarta meski kerugian yang dialaminya sudah sangat lama. “Kalau nggak dibayarkan juga, keterlaluan,” keluhnya.
Sutarya, salah satu warga yang aktif memperjuangkan hak para warga korban gusuran, memandang proyek pembangunan Rusunami Petamburan adalah biang keladi kemiskinan di sana.
“Dulu katanya Rusun Petamburan ini untuk mengentaskan kemiskinan,” kata Sutarya. “Yang ada, kami justru dimiskinkan.”
Perjuangan warga tidak hanya melalui proses hukum. Tokoh masyarakat yang juga kuasa hukum warga, Masri Rizal, mengatakan perwakilan warga juga sudah bertemu dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk menagih hak. Namun itu tidak membuahkan hasil. Dia heran bagaimana mungkin Pemprov tidak mengindahkan putusan hukum yang warga menangkan secara mutlak. Padahal nilai Rp 10 juta per keluarga itu tidak besar untuk saat ini.
Potret bangunan semi-permanen di sekitar rel kereta, Petamburan, Selasa, 12 Oktober 2021.
Foto: Rani Rahayu/detikX
“Kami menang di pengadilan. Itu sangat besar. Jadi mereka harusnya tahu dirilah. Mereka punya perikemanusiaan atau tidak?” kata Masri Rizal.
Rizal melanjutkan, warga Petamburan telah memperjuangkan hak mereka secara terhormat. Selama ini tidak ada aksi langsung atau protes yang berujung ricuh. Itu sebabnya, ia heran, pemerintah tidak juga mendengar suara mereka.
“Kami tidak melawan ketika digusur. Kami melalui proses hukum. Barangkali kalau tidak ada orang-orang tua seperti saya dan Pak Sutarya, rusun ini sudah dihancur-hancurkan oleh warga. Anda tahu bagaimana tipikal warga sini,” ujarnya.
Pemprov DKI Jakarta seharusnya mengalokasikan uang ganti rugi untuk korban penggusuran melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah. Nilai Rp 10 juta per keluarga atau Rp 4,7 miliar itu termasuk kecil. Tak seberapa dengan nilai proyek Jakarta International Stadium atau Stadion Bersih, Manusiawi, dan Wibawa (BMW), yang mencapai Rp 4,5 triliun.
Ketua DPRD Prasetio Edi Marsudi sebenarnya pernah menyatakan akan menindaklanjuti perjuangan warga ketika audiensi dengan perwakilan warga pada 2018. Kala itu Prasetio mengatakan warga sudah memiliki kekuatan hukum untuk mendapatkan ganti rugi.
Gubernur Anies Baswedan pun sempat mengatakan nada serupa. Pada 2019, Anies berjanji akan taat pada putusan pengadilan. “Kalau ada dari pengadilan yang bilang, ya kita sebagai pemerintah harus taat kepada institusi pengadilan. Nanti saya cek. Kita akan taat perintah pengadilan, apalagi kalau sudah inkrah," kata Anies, 15 Januari 2019.
Namun, hingga saat ini, janji tersebut belum juga dipenuhi. Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta Sarjoko dan Kepala Biro Hukum Yayan Yuhanah enggan merespons pertanyaan detikX mengenai perkara ini. Sarjoko dan Yayan hanya membaca pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Reporter: Rani Rahayu, May Rahmadi
Penulis: May Rahmadi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer:Fuad Hasim