Foto: Parade alutsista dihadirkan dalam acara HUT ke-74 TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, 5 Oktober 2021 (Agung Pambudhy/detikcom)
Selasa, 12 Oktober 2021Reformasi 1998 menjadi titik balik perubahan nama ABRI menjadi TNI. Dwifungsi ABRI juga dihapuskan. Ini upaya untuk memperbaiki citra buruk ABRI pada masa Orde Baru. Namun, hingga saat ini, masih banyak pekerjaan rumah bagi angkatan bersenjata itu, salah satunya terkait sengketa agraria.
SETARA Institute dalam laporan berjudul ‘Jalan Sunyi Reformasi TNI’ menyebut kesewenang-wenangan dan pelanggaran HAM yang dilakukan militer sebelum 1998. Itu pula mengapa dalam mandat reformasi TNI, yang dideduksi dari Tap MPR No VII/MPR/2000 dan UU 34/2004, salah satu beleidnya berbicara tentang penghormatan terhadap HAM dan supremasi sipil.
“TNI dituntut untuk menghormati HAM, termasuk memastikan prinsip supremasi sipil dalam penyelenggaraan negara tetap terjaga,” begitu bunyi mandat tersebut.
Sayangnya, dua dekade setelah reformasi itu, kekerasan militer terhadap masyarakat sipil rupanya masih sering terjadi. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam laporan yang diterbitkan pada September lalu mencatat, selama 2018-2021, masih ada setidaknya 277 kasus kekerasan TNI terhadap masyarakat.
Rincian kekerasan tersebut meliputi penganiayaan, penyiksaan, penembakan, tindakan tidak manusiawi, intimidasi, penangkapan sewenang-wenang, bisnis keamanan, penggusuran paksa, okupansi lahan, dan kejahatan seksual. Tindakan kekerasan itu didominasi oleh matra TNI Angkatan Darat dengan total 228 kasus.
“Adapun tindakan terbanyak adalah penganiayaan, sebanyak 151 kasus, diikuti oleh intimidasi dengan 57 kasus,” tulis Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti pada 21 September 2021.
KASAD Jenderal TNI Andika Perkasa
Foto : Agung Pambudhy/detikcom
KASAL Laksamana TNI Yudo Margono
Foto : Dok TNI AL
Catatan KontraS ini menjadi penting mengingat kini bursa calon Panglima TNI pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto semakin panas. Hadi Tjahjanto bakal memasuki masa pensiun pada 1 November 2021. Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memiliki hak prerogatif untuk menentukan calon Panglima TNI pun disebut-sebut tengah mempertimbangkan dua nama pengganti Hadi. Mereka adalah Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Andika Perkasa dan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Yudo Margono.
Namun komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Choirul Anam mengatakan rekam jejak yang bagus dan pernah menjabat sebagai kepala staf tidaklah cukup sebagai syarat menjadi Panglima TNI. Menurut Anam, pimpinan militer di era modern juga harus memiliki pemahaman terhadap HAM. Siapa pun Panglima TNI yang terpilih nantinya, kata Anam, harus juga memiliki visi dan misi untuk menempatkan HAM sebagai bagian tak terpisahkan dari berbagai keputusan di tubuh militer.
“Sehingga rekam jejak yang harus juga dilihat (dari calon Panglima TNI) adalah bagaimana mereka menyelesaikan kasus-kasus yang bersinggungan dengan hak asasi manusia,” ujar Anam kepada detikX pekan lalu.
Pernyataan Anam ini selaras dengan laporan KontraS, yang menyebut masih banyaknya kasus kekerasan oleh militer di Indonesia. Umumnya kasus kekerasan itu terjadi lantaran konflik agraria antara proletariat dan pemilik modal ataupun masyarakat dengan TNI itu sendiri.
Dua nama calon Panglima TNI yang baru pun tidak lepas dari persinggungan masalah HAM tersebut. detikX mencatat, di matra Angkatan Laut, masih ada tiga kasus konflik lahan antara TNI dan masyarakat yang belum selesai di era kepemimpinan Yudo Margono. Konflik ini terjadi di wilayah Pasuruan, Maluku, dan Minahasa.
Di Pasuruan, konflik lahan terjadi sejak 1960-an. TNI AL mengklaim memiliki tanah seluas 3.569 hektare yang mencakup wilayah 11 desa di tiga kecamatan, yakni Nguling, Grati, dan Lekok.
Ribuan warga dari berbagai desa di Pasuruan, Jawa Timur, menggelar demonstrasi menolak rencana relokasi oleh TNI AL pada 2019. Mereka juga meminta agar kesewenang-wenangan TNI di lahan yang berkonflik sejak tahun 1960 dihentikan.
Foto : Muhajir Arifin/detikcom
Sementara itu, masyarakat di 11 desa tersebut mengaku sudah menempati wilayah tersebut sejak nenek moyang mereka. Tanah itu dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk bertani dan berkebun. Atas dua klaim itu, konflik antara masyarakat dan TNI AL pun pecah. Puncaknya terjadi pada 2007, empat petani tewas dan belasan mengalami luka-luka akibat konflik yang berlarut-larut itu. Hingga kini, di masa kepemimpinan Yudi Margono sebagai KSAL, konflik itu belum ada penyelesaiannya.
Di Minahasa, konflik terjadi antara masyarakat Desa Kalasey II dan TNI AL pada April 2021. Sekitar 20 personel TNI AL mengklaim tanah seluas 20 hektare yang telah ditempati warga. Kericuhan terjadi antara TNI AL dan masyarakat. Sampai sekarang, konflik ini juga belum terselesaikan.
Demikian juga dengan kasus penyerobotan tanah adat Marafenfen, Aru Selatan, Maluku. Konflik ini bermula sejak 1992, ketika pasukan TNI AL mengusir paksa masyarakat adat Marafenfen untuk membangun bandara di tanah seluas 689 hektare di Aru Selatan. Aksi ini berujung penolakan oleh masyarakat adat Marafenfen yang merasa tempat tinggalnya telah diganggu. Sekarang, 29 tahun setelah aksi penyerobotan itu, konflik antara militer dengan TNI AL dan masyarakat adat itu juga belum menemukan solusi.
Menanggapi sejumlah konflik lahan dengan masyarakat itu, Yudo Margono melalui Kepala Dinas Penerangan TNI AL Laksamana Pertama Julius Widjojono mengatakan telah menyerahkan seluruh prosesnya ke jalur hukum. Segala permasalahan TNI AL, kata Julius, yang telah masuk ranah Pusat Polisi Militer Angkatan Laut bakal diselesaikan melalui jalur hukum.
Julius juga menekankan Yudo tidak pernah memberikan toleransi kepada anggotanya yang kedapatan melakukan kekerasan terhadap masyarakat dalam sejumlah konflik yang terjadi.
“Berkali-kali disampaikan, jangan pernah menyakiti rakyat. Jangan pernah melakukan kekerasan. Begitu melanggar, ya hukum, pecat,” tutur Julius kepada detikX melalui sambungan telepon akhir pekan lalu.
Konflik antara petani dan TNI AD akibat pemagaran lahan untuk latihan tembak di Kebumen, Jawa Tengah, tahun 2019.
Foto: Rinto Heksantoro/detikcom
Bukan hanya di TNI AL, sejumlah permasalahan agraria di tubuh militer juga banyak terjadi di TNI AD. Dari banyaknya konflik lahan antara TNI AD dan masyarakat, detikX mencatat ada sedikitnya tiga kasus yang belum selesai hingga era kepemimpinan Andika Perkasa. Konflik-konflik itu terjadi di wilayah Kebumen, Salatiga, dan Aceh.
Konflik di Kebumen terjadi di kawasan Urut Sewu, terjadi antara masyarakat dan TNI AD, yang memperebutkan lahan seluas 321 hektare. Ketegangan bermula pada 1982 saat TNI AD mengklaim tanah tersebut sebagai tempat latihan mereka. Pada 1997, ketegangan sempat mencapai puncaknya ketika lima anak kecil harus meninggal dunia karena letusan mortir dari sisa latihan TNI. Sampai sekarang, 24 tahun setelah meninggalnya lima bocah itu, konflik antara masyarakat dan TNI AD belum selesai juga.
Di Salatiga, konflik lahan terjadi antara masyarakat Desa Mangunsari dan TNI AL terkait tanah seluas 4,6 hektare. Permasalahannya bermula sejak 2010. Sekitar 150 keluarga memprotes aksi TNI AL yang main klaim atas tanah yang sudah ditempati warga. Komnas HAM telah melakukan mediasi di antara kedua pihak. Namun, hingga sekarang, upaya mediasi itu masih terbentur jalan buntu.
Demikian pula dengan konflik lahan yang terjadi di Desa Masjid Raya, Aceh. Perebutan lahan seluas 200 hektare yang bermula pada 2019 ini belum juga menemukan solusi hingga sekarang. Sekitar 250 keluarga di wilayah tersebut terancam hengkang dari tempat tinggal mereka.
detikX telah menghubungi Andika Perkasa untuk menanyakan sikapnya terkait penyelesaian konflik-konflik lahan ini. Namun, hingga artikel ini diterbitkan, Andika belum juga menjawab panggilan telepon maupun pesan singkat yang dikirimkan. detikX juga telah menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang tertuju kepada Andika melalui Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat Brigadir Jenderal Tatang Subarna. Tatang kemudian meminta detikX mengirimkan pertanyaan-pertanyaan itu melalui pesan singkat.
“Nanti saya koordinasikan dulu dengan yang berwenang menjawab,” kata Tatang. Namun, sampai tenggat penerbitan laporan ini, Tatang belum juga memberikan jawaban kepada detikX.
Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto, Syailendra Hafiz Wiratama
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim